38. Cinta Pertama

20.3K 2.9K 280
                                    

Halo semua. Thank you ya, buat semangat komennya di part kemarin ya. Kalian baik bangettttt.

Eh Btw, ternyata di rumah, aku masih punya masing2 satu novel Jungkir Balik Dunia Raras, Kulavarga, sama Cinta Berselimut Tabu. Kalau aku bikinin give away, berhadiah novel2 di atas, ada yang tertarik ndak ya? 🤭🤭

Dahlah, Enjoy dulu sama yang ini.

●●●●●

Di penglihatan sekilas orang luar, bahagia itu bisa tampak ketika seseorang selalu tersenyum atau tertawa. Di lain waktu, bertambahnya berat badan juga seringkali diidentikkan dengan kondisi ringan tanpa beban. Pendar mata yang cerah dan berbinar juga bisa menjelaskan keadaan tersebut.

Berkebalikan dengan itu, seseorang yang berubah jadi kurus atau malah muncul banyak kerutan di area wajah sering kali disebut dengan banyak pikiran, masalah, atau hal-hal berat nan mengganggu semacamnya. Ada juga yang mendadak beruban setelah dilanda stres berkepanjangan.

Itu juga yang kali ini kutemukan pada sosok di balik etalase setinggi pinggang itu. Dia seperti enam tahun lebih tua  padahal aku cuma meninggalkannya selama tujuh belas bulan. Terakhir kali melihatnya, rambut itu masih hitam legam dan sekarang banyak helai putih yang tersebar. Badannya juga lebih kurus, dilihat dari lehernya yang tampak tinggi dan menonjolkan tulang.

Menyaksikan semua itu aku tidak bisa tidak tercubit. Bagai langit, aku sudah seperti dihinggapi mendung hitam nan tebal. Di saat aku merasa bahagia bersama Ganesh, ternyata hal yang bertolak belakang kusebabkan pada hidup ayah. Laki-laki itu mungkin belum mengakui apapun, tapi segala kesedihannya sudah tampak jelas. Membayangkan dia tidak tidur nyenyak dan mengakibatkan matanya menghitam berlanjut membuat mataku terasa panas.

"Mamamaaa."

Aku tersentak dan mataku kembali pada Ganesh. Sekarang bayi itu menatapku penuh protes. Dengan lembut aku membalas matanya. "Iya, ini aaa yang terakhir. Aaaa."

Mulut mungil itu terbuka lebar dan menyambar buburnya dengan cepat. Kuusap ujung bibir Ganesh yang belepotan dengan tisu sebelum bangkit dan menghampiri ayah. Ada rasa gugup dalam batinku. Timbul rasa sakit ketika dekat dengannya dan tampaklah matanya yang memerah dan berkaca-kaca. Di hadapannya, aku tersenyum sambil terus menguatkan diri. Tentu saja, aku tak boleh menangis. Itu hanya akan membuat dia mengira aku masih sama dengan putrinya yang lemah dan tak bisa dia lepas tanpa pengawasan.

Mula-mula, aku bingung harus menyapa bagaimana. Alih-alih bertanya kabar, aku malah membercandainya. "Ayah memang nggak ada tandingan. Bisa gitu nemuin aku secepat ini?"

Wajah yang biasanya penuh keangkuhan di hadapanku sekarang malu-malu menitikkan air mata. "Apa Ayah masih boleh peluk kamu?" begitu jawabnya untuk guyonanku.

Aku tertawa kecil menahan tangis. "Ya boleh dong. Aku anak ayah," sahutku dengan suara sumbang. Demi tak membuat laki-laki di hadapanku ragu, aku yang melakukan inisiatif terlebih dahulu. Kususupkan tubuhku dan melingkari badannya. "Sampai kapanpun, aku punya ayah. Ayah bebas peluk aku kapanpun," ulangku yang kemudian membuat bahu dan dada Ayah bergetar.

Pelukan yang kudapat jadi teramat erat. Suara tangis yang kudengar tak pelak membuatku ikut luluh lantak. Belum pernah kulihat ayah dalam keadaan selemah sekarang. Bahkan ketika Bunda dikembalikan ke bumi, tidak kulihat tangisan ayah yang kejar. Dia adalah orang yang paling bisa menyembunyikan lukanya di balik topeng kejam yang dia pasang. Tapi sekarang dia lepas itu semua dan menangis seolah baru saja membuat dosa tak termaafkan sepanjang dia hidup.

Tidak pernah kuragukan betapa melimpah rasa sayang ayah kepadaku. Dari banyaknya rasa itu pula yang kadang membuat dia buta. Dengan dalih demi kebaikanku, dia bisa melakukan apapun, sekalipun itu harus melenceng dan merugikan orang lain. Dengan dalih demi kebahagiaanku pula, terkadang dia malah tak sengaja membuatku terluka. Tapi biar bagaimana pun aku tahu, dia mencintaiku dengan segenap jiwa yang dia punya.

RUMPANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang