ᏂUⲊᎢᏞᎬ (4)

Start from the beginning
                                        

Sean menelan ludah, kerongkongannya serasa kering seketika. Namun dia tidak menjawab. Napas Liam yang berat dan tertahan terdengar jelas di ruangan itu, bercampur dengan suara air yang sesekali menetes dari pinggiran kolam.

"Lo selalu ngikutin gue sama Alby kemanapun kita pergi" lanjut Liam "Dan di setiap ada kesempatan, lo berdua selalu ngelihatin kita. Kentara banget"

Sean merasa seolah terpaku di tempat, tubuhnya kaku, tapi pikirannya berputar cepat,

"Dia tahu? Dia tahu kita ngikutin dia? Tapi gimana caranya? Gue dan Senna yakin udah hati-hati..." semua logikanya hancur berantakan di bawah tatapan Liam yang seakan bisa menembus kedalamannya.

Liam tersenyum tipis, tapi itu bukan senyum yang ramah. Itu lebih mirip bayangan bulan yang terpantul di permukaan air keruh, penuh misteri dan ancaman.

"Kalau lo diam" intonasinya merendah "Berarti gue benar"

Dia mulai melangkah mendekat, gerakannya pelan tapi pasti, seperti predator yang tahu mangsanya tidak punya tempat untuk lari. Sean secara refleks bergeser mundur, mencoba menjaga jarak, tapi langkahnya masih terasa kaku, seperti ada tali tak kasat mata yang menahan pergerakannya.

"Sebenarnya apa mau lo berdua? Ada masalah sama gue dan Alby, atau..." dia berhenti sejenak, menajamkan tatapan "Kalian punya obsesi sama kita?"

Pertanyaan itu seperti tembakan peluru tepat ke kepala Sean. Dia menunduk, menghindari tatapan Liam, tangannya mengepal di sisi tubuhnya. Dalam hatinya dia tahu ini pertarungan yang harus dia menangkan dengan lidah, bukan otot. Maka dengan napas yang ditahan, Sean membuang muka lalu menggeser tubuhnya sedikit lagi, menciptakan celah aman di antara mereka.

"Gila aja gue obses sama orang stress kaya lo!" bantahnya "Ngapain juga kita ngikutin lo berdua, hah? Gak ada gunanya!" dia mendongak sedikit, menatap Liam sekilas dengan ekspresi sok santai yang dia paksa mati-matian.

Liam mengangkat alis, menunggu kelanjutan jawabannya. Sean buru-buru menambahkan, kali ini dengan nada yang lebih tajam, mencoba membalikkan situasi "Lagian, kalau lo ngerasa diikutin kita, ya lo mikir lah. Kita satu sekolah, satu kelas juga. Udah pasti sering ketemu kan? Jangan geer duluan!"

Tapi meski kata-katanya terdengar logis, Sean tahu dirinya sedang menggantung di tali rapuh. Dan tatapan Liam yang tetap tak bergeming, membuat tali itu terasa semakin tipis.

Liam tidak langsung merespons. Dia hanya berdiri di sana, menatap Sean dengan pandangan yang begitu dalam, seperti mencoba menembus segala lapisan kebohongan yang sedang Sean bangun.

Tidak ada gerakan, tidak ada suara. Hanya keheningan yang kian pekat, seolah ruangan itu menahan napas bersama Sean.

Kemudian, Liam kembali tersenyum. Senyum itu lebih tipis, hampir seperti hantu yang membuat Sean merasakan hawa dingin merambat dari tengkuk hingga ujung jari,

"Lucu" ujar Liam pelan, hampir berbisik "Lo pikir gue percaya sama omong kosong lo itu?"

Langkah Liam kembali bergerak, kali ini lebih cepat, lebih dekat. Sean terpaksa mundur lagi, punggungnya hampir menyentuh dinding kaca di tepi kolam "Satu sekolah, satu kelas...alasan yang bagus. Tapi lo lupa satu hal, Sean" Liam mendekatkan wajahnya, hingga jarak di antara mereka hanya sejengkal.

𝙷𝚄𝚂𝚃𝙻𝙴Where stories live. Discover now