Part 47: Mimpi buruk yang terlalu nyata

ابدأ من البداية
                                    

"Berisik!" gertak Nindi, kelewat murka.

"Gue tunggu kabarnya, habis itu kita tunangan, jiakkk!"

Reflek tangan Nindi melayang tak sampai tiga detik menghantam mulut ngawur Mahes. Benar, Nindi menaboknya. Suara tabokannya sih, renyah dan satisfying, pasti tak begitu sakit bukan? Bukan.

Sementara Mahes sedikit meringis, berusaha stay cool walau bibirnya berkedut dan panas. Tabokan itu tak lantas membuatnya kehilangan aura ketampanannya.

"Ngaco ye, bibir lo!" marah Nindi.

"Serius Nin." Mahes meraih tangan Nindi, jari telunjuknya menyentuh jari manis gadis itu. "emang lo nggak mau pakai cincin? Bagus deh, kayaknya. Nggak kosongan begini."

Nindi menarik tangannya dan menyembunyikan di belakang punggungnya."Ngomong doang lo! Dateng gih ke papa!"

"Emang lo mau?

"Taik omongan lo Hes!"

"Jangan marah-marah mulu dong." Tersungging senyum manis di bibirnya sambil mengerlingkan mata."Ya udah, good luck ya." Mahes mengusap puncak kepalanya sebelum laki-laki itu berlenggang pergi meninggalkannya.

Nindi diam termangu setelah kepergian Mahes. Orangnya memang sudah raib termakan jarak, tetapi perkataannya tertinggal di ruang kepalanya yang memang telah sempit, menyiksa otaknya untuk terus memikirkannya sampai pening, sampai pelipisnya berkedut.

Mahes memang laki-laki yang tidak bisa dipercaya, dan banyak berbual, namun entah mengapa ucapannya tentang hubungan yang ingin meraih keseriusan membuatnya terlihat seperti laki-laki sejati yang enggan dikhianati. Pembicaraan seperti ini bukan hanya sekali terjadi, sesekali laki-laki itu main nyeplos tentang hal-hal menyangkut pernikahan, dengan lawakan khasnya, namun Nindi menyadari lawakan itu merupakan kode yang menuntut peka darinya.

Nindi pikir, Mahes masih terlalu muda untuk dipercaya. Dirinya juga masih belia untuk mengenal hubungan yang telah terikat sepenuhnya.

"Sayang, ngapain?" Ia terjengkit saat seseorang duduk di sampingnya, membuat pikiran melanglang buana kembali pada asalnya.

"Ha? Kenapa?" Nindi balik bertanya, karena ia tak menangkap jelas perkataan Dimas.

"Lo ngapain di sini?"

"Nemuin lo lah! Soalnya lo nggak nyamperin gue ke kelas!" sergah Nindi.

"Ini juga mau nyamperin, Sayang."

"Tapi lo lama."

"Biasanya langsung ngacir ke kantin, ada apa nih? Tumben nyamperin gue duluan?" Terdapat tanda tanya di wajahnya, netra lelaki itu menyipit menatapnya. Barangkali ekspresi resahnya terbaca dengan jelas, sorot mata layu begitu amat membuktikan bahwa sang empunya sedang tidak baik-baik saja.

"Mau ngomong,"bisiknya nyaris seperti angin yang berlalu.

"Iya, ngomong apa Di? Cepet."

Alis Nindi menyudut, sejenak ia terdiam karena otaknya justru beralih menerka-nerka siapa itu "Di". Apa itu panggilan untuknya? Tapi mengapa kedengarannya asing dan tidak cocok?

"Di siapa?"

"Nama lo 'kan Nindi?"

"Nggak cocok kunyuk!" protes Nindi tak terima, kemudian melipat tangan di dada dan mengembungkan pipinya, ceritanya marah."Apaan banget main ganti-ganti nama panggilan gue! Pokoknya gue ogah dipanggil 'Di'! Seumur-umur nggak ada yang manggil gue begitu!"

"Iya, Sayang. Maaf," ucapnya, lembut.

Sebab itu wajah Nindi justru tampak berseri-seri, senyum tipisnya terpampang begitu nyata, seakan lupa dengan kecamuk di dadanya.

GUE CANTIK, LO MAU APA?! (End)حيث تعيش القصص. اكتشف الآن