Kedatangan mereka disambut oleh seorang wanita paruh baya, wajah perempuan itu tampak terkejut sekaligus haru melihat kedatangan Afra.
"Duh anaking (anakku) ... dari mana aja sih? Emak cariin kemana-mana gak ketemu," seru wanita itu kemudian mengambil alih bopongan Laila.
Ketiganya sempat menyalami tangan wanita itu sebagai bentuk sopan santun.
Selanjutnya wanita itu mempersilakan ketiganya untuk masuk. Laila sempat ragu saat teringat bahwa Afra memelihara seekor anjing, tapi Riki sudah lebih dulu mendorong punggung gadis itu hingga akhirnya mereka benar-benar masuk.
Di sisi lain, wanita bernama Euis itu terdengar heboh memanggil seluruh anggota keluarga. Ia segera membawa Afra ke dalam kamarnya. Seorang pria paruh baya terlihat keluar dari sebuah ruangan kemudian bergegas naik ke lantai dua—tempat kamar Afra berada, begitu pula seorang gadis yang terlihat lebih tua beberapa tahun dari mereka, mulai berjalan mengekori ayahnya.
Setelah beberapa saat, ketiganya hanya duduk di ruang tamu.
Tak berselang lama, Bu Euis datang dan duduk bersama mereka.
"Hatur nuhun pisan nya, atos nganteur Afra mulang (terima kasih banyak ya, sudah mengantar Afra pulang)," tutur wanita itu dengan senyum yang amat hangat.
Ketiganya mengangguk. "Muhun sami-sami, Bu. (Iya sama-sama, Bu)." Laila menyahuti.
"Nyéta keun, Ibu téh bingung sama Afra, dia izin main abis magrib, malah gak pulang-pulang, tapi motornya ada, padahal Ibu sama bapaknya gak denger ada suara motor datang. Pas dicariin, Afra gak ada di mana-mana. Ibu sempet panik, eh ... pagi-pagi udah dianterin, dari mana atuh kalian téh?" Mendengar pertanyaan Bu Euis, ketiganya seketika gelagapan.
"Kami sebenarnya gak tau Afra hilang, Bu. Pas pagi-pagi sekali saya nemu dia duduk di pinggir jalan dalma kondisi seperti ini, karena saya gak tau rumahnya di mana, akhirnya saya datang ke rumah Laila. Kebetulan motor saya tidak memungkinkan untuk demepet tiga, jadi saya manggil teman saya yang satu lagi," jelas Gazala, dan semuanya adalah bohong besar.
Laila menatap dengan wajah kaget, benar-benar tak menyangka Gazala sepandai itu dalam mengarang cerita dalam kondisi kepepet seperti ini. Terdengar sangat ahli, semua dipoles dengan sangat rasional.
Bu Euis mengangguk sembari tersenyum teduh. "Oh kitu, hatur nuhun atuh jang (oh gitu, makasih jang)."
Tak berselang lama, pria paruh baya bernama Cahya datang. "Nyai, ku naon budak téh? Naha kitu? (Nyai, anak (kita) kenapa? Kenapa gitu?)" tanya Pak Cahya bingung.
"He'euh budak téh siga nu teunggar kalongeun (iya anak (kita) kaya (orang yang kena) teunggar kalongeun > kondisi syok mental biasanya karena terlalu sering disentak dan mendapat banyak tekanan batin)." Ada nada sindiran dari perkataan Bu Euis, dia tampaknya kesal karena Afra terlalu banyak diatur oleh pria itu, tak dibebaskan menentukan passion-nya sendiri.
"Hah! Ngomong téh sok kamana galeuh ... éta mah siga nu aweuhan, kosong budak téh (hah! Ngomong suka sembarangan ... itu mah kayak yang gak ada, (raga) anak itu kosong)," tutur Pak Cahya.
"Aa nyarios téh sok kamana waé, teu nanaon teu si ujang mah ... keun, capek meureun, anteupkeun we heula. (Aa ngomong suka ke mana aja (maksudnya > sembarangan), gak papa si ujang mah ... gak papa, mungkin (dia) capek, biarin aja dulu)." Bu Euis berusaha menenangkan suaminya.
Sementara itu di sisi lain, kakak perempuan Afra yang bernama Kinasih tampak berdiri di samping ranjang adiknya, menatap kondisi Afra yang terbaring dalam keadaan mata terbuka, tak menatap apapun, manik itu tampak kosong seolah tanpa jiwa.
"Ada yang gak beres nih," gumamnya kemudian beranjak keluar, dia bersembunyi di tembok dekat ruang tamu, mendengarkan pembicaraan kedua orangtuanya dan tiga tamu yang terasa agak janggal baginya.
Setelah ketiganya berpamitan pulang, Kinasih bergegas mengambil kunci motor Afra kemudian membuntuti ketiganya dari belakang.
Sementara di sisi lain, Laila yang dibonceng oleh Gazala sudah berdiri di teras depan rumahnya.
"Oya, Aa ... baju Aa udah selesai Ila cuci, tunggu bentar ya," ucap Laila sebelum akhirnya masuk dan kembali dengan sebuah paper bag di tangannya.
"Makasih ya," tutur Laila sembari menyodorkan benda itu.
"Makasih juga udah dicuciin," balas Gazala sembari menerima paper bag.
Sebelum Gazala benar-benar pergi, Laila teringat sesuatu yang ingin dia bicarakan.
"Aa," panggil Laila.
"Hmm?" sahut Gazala, kembali menoleh pada Laila.
"Pas di alam gaib, kok Aa bisa muncul?" tanya Laila.
Mendengar itu, Gazala mengernyitkan keningnya. "Enggak, gua cuman ngawasin lu, gak ikut masuk. Segitu aja udah nguras energi banget ... banyak banget yang pengen ngambil sukma lu, makannya gua jaga baik-baik."
Sontak Laila ikut mengerutkan dahi. "Loh? Ila di sana dianter sama Aa loh ... Aa yang nuntun Ila sampe akhirnya bisa ketemu sama Afra."
Gazala menggeleng keras. "Gak ada, lu masuk sendirian, gua gak ngerasain engeri lain. Sisanya cuman kek ... aura jahat yang pengen ngebawa lu."
Setelah suara Gazala, Laila kembali teringat sesuatu. "Di sana, Ila liat takhta Batara Lurang kosong ... apa jangan-jangan ...?" Laila menggantung kalimatnya, seolah sudah tahu Gazala pasti langsung menangkap maksudnya.
Lelah dengan semua teror ini, Gazala menghela napas panjang. "Gak beres emang Iblis nih, sekarang dia juga bisa niru wujud gua setelah gua ngasih persembahan sama dia. Jangan-jangan dia ngira gua mau masuk sekte dia lagi."
Gazaila sudah mulai muak dengan per-Iblisan ini, ia sudah sangat lelah sekarang, benar-benar gak mood membicarakan apapun yang berkaitan dengan Iblis.
Sementara Laila kembali termenung, spekulasi liar kembali muncul, tentang iblis itu yang sepertinya enggan melepas Laila.
Melihat gadis di depannya melamun, Gazala menepuk pundak Laila pelan untuk sekadar menyadarkan dia kembali. "Hey!" serunya.
Laila kembali menatap mata itu. "Udah, gak usah dipikirkan. Yang penting sekarang lu dan Afra berhasil kembali dengan selamat."
Gadis itu mengangguk pelan. "Terus Afra gimana?"
Gazala bersiap dengan kendali gas pada setang motornya. "Itu ... ntar gua cari tau lagi. Lu istirahat aja hari ini, gak usah sakolah dulu."
Laila kembali mengangguk.
"Ya udah, gua pamit." Brumm—motor Gazala melesat meninggalkan Laila yang mulai kembali ditelan kesunyian.
Dengan langkah lunglai, ia memasuki rumah kemudian menutup pintu, berniat untuk langsung beristirahat, namun suara ketukan pintu tiba-tiba terdengar.
Laila kembali berbalik, membuka palang itu, mendapati seorang gadis yang tampak familier di matanya. Ya, itu kakak Afra.
Ia mengulaskan senyum kemudian berkata, "bisa ngobrol bentar?"
•❅───✧❅ᮘᮊᮜ᮪ ᮓᮤᮞᮙ᮪ᮘᮥᮀ❅✧───❅•
YOU ARE READING
Batara Lurang
Teen FictionDi tanah Pasundan, jauh sebelum kerajaan Siliwangi berdiri, nama Batara Lurang sudah eksis di kalangan penduduk sekitar. Semua tahu dia adalah sosok Iblis, tapi karena kebutuhan yang mendesak, mereka tak ragu untuk meminta serta memberikan imbalan y...
᮱᮸. ᮛᮦᮀᮞᮦ
Start from the beginning
