Setelah mendengar penjelasan langsung dari empunya, Lidya langsung pergi begitu saja meninggalkan pasangan yang kini saling bertatapan itu. Niskala mengangguk kecil dan memasang wajah masamnya, kedua ibu jarinya terangkat ke arah Dipta yang masih diam di tempatnya. 

"Jangan coba-coba!" kalimat Dipta yang terkesan tiba-tiba dan juga tatapan tajamnya berhasil membuat Niskala berdebar ketakutan.

"Coba-coba ap-- Dipta! Jawab dulu! Yah... malah pergi..."

Niskala menatap punggung suaminya sambil menghela napas pelan. Ia tak paham, selama beberapa hari ini Dipta terlihat jauh lebih menghindarinya. Bahkan ketika wanita itu terbangun di pagi hari, ia sudah tak menemukan Dipta di seluruh penjuru rumah.

Tapi meski ia merasa heran, Niskala tetap berusaha untuk bisa memahami. Pernikahan ini tak pernah diterima Dipta dan juga dirinya, jadi wajar saja jika pria itu bertindak seolah masih belum menikah. Niskala tak pernah mempermasalahkannya sama sekali. Hanya saja rasanya seperti gagal memenuhi permintaan ibu mertuanya yang ingin agar dirinya menjaga Dipta dengan baik.

"Ah, udah gede juga!" gumamnya sambil mengedikkan bahu dan melanjutkan aktifitasnya menata kebun di halaman rumah.

*****

"Dua minggu lagi, saya mau mengadakan upacara pembukaan rumah sakit yang baru dibangun di daerah ini."

Dipta memperhatikan Lio dengan seksama, begitu juga dengan karyawan yang lain. Ini sudah beberapa menit mereka duduk dan serius mengikuti rapat yang digelar CEO perusahaan properti tempat mereka bekerja.

Hari ini, mereka membahas tentang pembukaan rumah sakit milik perusahaan yang akan diresmikan sebentar lagi. Tentu saja mereka harus mempersiapkan semuanya dengan baik mulai dari sekarang.

"Bu Arumi dan divisi keuangan, mohon kerjasamanya. Senin depan saya ingin rincian biayanya sudah ada di meja saya. Pak Dipta, mohon kerjasamanya dan awasi kinerja seluruh divisi. Kita harus mensukseskan acara ini dan beberapa dokter yang terpilih dari rumah sakit besar akan diundang."

"Baik, kita akhiri rapat hari ini. Terima kasih."

Dengan berakhirnya rapat itu, seluruh karyawan keluar, meninggalkan Dipta yang masih duduk di atas kursinya. Pikirannya kembali berkelana, memikirkan sesuatu yang seharusnya tidak ia pikirkan sama sekali. Dan itu sangat mengganggunya.

"Dip, hey! Ngelamun!"

Lio menepuk bahu sahabat seperjuangannya semasa kuliah dan langsung mengubah ekspresinya ketika melihat Dipta seperti tak bersemangat.

"Gue mau nanya, dong. Kalau lo ngerasa bingung banget lo biasanya ngapain?" sambar Dipta sambil mengetuk-ngetuk meja ruang meeting dengan gerakan pelan, sambil menatap Lio dengan raut penasaran.

Lio terlihat kebingungan, tapi beberapa saat kemudian akhirnya pria itu ikut duduk di sebelah Dipta.

"Ya... tergantung juga bingungnya soal apa. Emang lo lagi kebingungan? Soal kerjaan? Barangkali gue bisa bantu kalau ada yang kurang jelas."

Tawaran itu justru ditolak mentah-mentah oleh Dipta. Pria itu menggeleng kemudian berkata, "Bukan. Bukan masalah kerjaan tapi... pernah gak sih, lo bingung banget pas lagi deket sama seseorang. Rasanya tuh kayak..."

"Tunggu! Jangan bilang kalau sekarang lo lagi deket sama cewek? Wah! Bagus dong, Dip! Lo berhasil move on dari bayangan Mita! Dan emang semestinya udah begitu..." potong Lio dengan cepat sambil tersenyum sumringah, memperlihatkan kedua lesung pipinya.

Dipta terlihat tertegun dengan kalimat yang dilontarkan sahabat sekaligus atasannya. Bahkan, sekarang dia merasa sedikit bersalah pada pria itu karena tak memberitahu yang sebenarnya. Ya, Lio sahabatnya sendiri tak tahu jika ia sudah menikah dengan wanita lain.

AFTER 100 [REVISI]Where stories live. Discover now