20. Nothing Really Change, But Now.. I'll Try To Be Brave. [Song Bora]

Start from the beginning
                                    

"Adek kamu tadi dipanggil guru. Katanya ditanya tentang bayaran karyawisata minggu depan."

Kuteguk tehku pelan-pelan. Sudah kuduga, ini masalah uang.

"Berapa memang bayarnya?"

Aku dan Sangkyun yang cukup abai dalam bersosialisasi ini tidak pernah ikut karyawisata kalau itu tidak bersangkutan langsung dengan nilai akademik. Menghemat budget juga. Tapi Minkyun berbeda. Dia senang sekali main dan cari teman. Karyawisata tentu jadi salah satu kebutuhan primer baginya.

Ibu menjawab pertanyaanku dengan lipatan surat tagihan. Kulihat nominal yang membuatku kontan menelan ludah dalam-dalam. Oh, acara tiga hari dua malam. Dua ratus tiga puluh ribu bukan jumlah yang sedikit untukku.

"Kamu bisa bantu bayar dulu? Nanti pasti Ibu ganti bulan depan. Gaji bulan ini.. ludes kepake buat lunasin sewa apartemen."

Kugigit bibir bawahku, mengingat-ingat nominal yang tersisa di rekening tabunganku. Mengajar Choi Seungkwan baru menginjak minggu kedua, aku belum dapat fee lagi selain dari masa percobaan. Uang yang kukumpulkan dari pekerjaan paruh waktu lain juga belum seberapa dan sebagian sudah terpakai kebutuhanku sehari-hari.

Padahal sebentar lagi Sangkyun akan menghadapi tes masuk universitas dan harus membayar biaya semesteran pertama kalau tidak berhasil dapat beasiswa. Tapi.. Minkyun juga adikku yang harus dipenuhi kebutuhannya.

Prioritas penggunaan tabunganku sedang diuji rupanya.

"Kalau kamu enggak bisa, Ibu mau minta tolong Bibi kamu--"

"Enggak, jangan ke Bibi. Dari Bora aja," timpalku tanpa pikir panjang. "Besok Bora bawa uangnya lewat ATM."

Tanggapan dinginku membuat Ibu membisu. Kutatap separuh bungeoppang yang tersisa di tanganku. Seleraku lenyap. Aku bisa memprediksi kemana arah pembicaraan ini akan melaju. Selanjutnya Ibu akan menyalahkan diri. Mengapa kita miskin. Mengapa kita terjebak di Seoul. Mengapa Ibu kehabisan uang sampai tak bisa bayar karyawisatanya Minkyun. Semua karena Ibu.

"Bu, kalo enggak ada lagi yang mau dibicarain, Bora istirahat dulu ya. Besok ada kelas pagi. Ibu juga, cepet istirahat."

Aku sedang tak sanggup mendengar keluh kesah ibu. Suasana hatiku sedang cukup berantakan hari ini, tak perlu lagi ditambah rentetan pengakuan dosa Ibu yang terus diputar ulang seperti gulungan kaset rusak.

Ibu hanya menjawabku dengan anggukan lemah. Membiarkanku mengeram diri di kamar dan meninggalkan sisa kepingan bungeoppang yang sengaja ia belikan untukku begitu saja di meja makan. Ibu beli cukup banyak. Ah, harusnya tadi aku sadar bahwa ada banyak hal yang ingin Ibu bicarakan denganku selain tentang biaya karyawisata Minkyun malam ini. Begitu sulit bertemu dan bercengkrama dengannya akhir-akhir ini.

Bisa-bisanya kepalaku jadi sekacau ini. Anak durhaka, huh.

Getar ponsel di meja belajar mengusik hening. Mendapati kontak IBaT A - Joshua menelponku, pelan-pelan kutelungkupkan layar ponselku dan merangkak ke tempat tidur.

Menyempurnakan kepengecutanku malam ini, lagi-lagi, aku menghindar.

☆☆☆

Lima menit lagi kelas Ekonomi Investasi dimulai. Menduduki tempat paling belakang, kusibukkan diri dengan membaca catatan pekan lalu. Ah, benar, kemarin aku bolos kelas Analisis Resiko Bisnis. Biasanya aku pinjam catatan Yeonjoo kalau berhalangan masuk kelas, sialnya, kemarin kami kan bolos bersama. Duh.

"Bora?"

Seseorang ternyata telah duduk di sampingku. No Minwoo. Dia teman sekelasku. Meski anaknya ramah, baru kali ini dia menyapaku saat duduk bersisian begini. Tumben.

I DESERVE UWhere stories live. Discover now