Asavella 🍁23

Začít od začátku
                                    

“Gue harus ke kelas Ballet hari ini.”

Brian menggeleng cepat. “Enggak, Sa. Udah, Sa. Jangan sakitin tubuh lo. Ayo pulang sama gue. Gue pastiin lo baik-baik aja. Gue bakalan anter lo sampai rumah. Pulang ya?”

Asa tersenyum tipis. “Kata-kata lo terlalu manis buat aku yang benci kemanisan.”

“Lo tau?”

“Mereka semua di sekolah udah sakitin gue. Belum orang rumah, belom lagi sikap lo, terus kenapa gue pemilik tubuh ini sendiri, enggak boleh nyakitin sendiri? Haruskah melalui perantara tangan orang lain?”

“Cuma dengan tarian gue bisa melampiasakan rasa sakit ini, Brian. Tolong ngertiin gue,” mohon Asa dengan berlinang kristal bening yang turun semakin deras.

Brian menarik tubuh Asavella dalam dekapannya. Mengecup puncak kepala Asa dengan begitu lama. Tak peduli jika ia harus ikutan basah. Ia berusaha menyembunyikan wajah Asa pada dadanya—memastikan kedua tangan gadis itu melingkar sempurna pada tubuhnya.

“Gue hancur tiap lo peluk.”

"Hancur aku, Bi."

“Walaupun pelukan lo begitu hangat dan selalu bisa tenangin gue.”

“Lo tau kenapa?”

Brian menggeleng samar.

Asa mempererat pelukannya. “Karena pelukan lo udah punya nona. Dan itu saudari gue.”

Brian menghela napas gusar. Menahan diri sekuat mungkin untuk tidak menangis di hadapan sang gadis.

“Boleh gue tanya sesuatu?”

Brian mengangguk. Membiarkan gadis di dekapannya berbicara sepuas hati—itu akan membuat sosok Asavella akan sedikit tenang sekalipun apa yang ia bicarakan itu akan menyakiti perasan Brian ataupun tidak.

“Kematian seperti apa yang menurut lo enggak bakalan ngerasa sakit? Meminum racun atau menggantung diri?”

“Gue takut memotong nadi gue, Bi. Gue takut sakit, tapi sakit udah jadi makanan keseharian gue.” Ucapan spontan diiringi kekehan kecil membuat Asa semakin merasakan tubuhnya yang tak lepas dari kata nyeri.

"Nabrakin diri ke truk? Gue takut. Takut tubuh gue hancur. Udah cukup spikis gue yang dihancurin keluarga gue sendiri dan lingkungan."

Brian merasa sesak. Selama ini, Asa tidak pernah mengungkapkan rasa ingin mati. Hatinya mencelos tepat dengan jantungnya. Ia bisa menyimpulkan kalau gadis pengagum luka—sudah mulai lelah.

“Gue dicoret dari daftar seleksi peserta olimpiade. Dicoret dari calon pertukaran pelajar antar negara. Bahkan, gue juga dipindah dari kelas unggul ke kelas reguler. Dan parahnya lagi …”

“…satu persatu teman gue ngebenci gue tanpa alasan.”

“Gue enggak pernah protes dengan kehidupan gue dari keluarga yang enggak harmonis. Bahkan gue enggak pernah protes ke Tuhan soal lo yang berubah 180 derajat. Dan gue enggak protes dengan alur cerita gue. Tapi kenapa? Gue juga harus kehilangan satu persatu temen gue?”

“Padahal, baru kemarin gue dan yang lain belajar sambil menukar canda tawa.”

“Dan sekarang semua lenyap dalam satu hari karena satu insiden.”

"Yang gue takutin, bokap gue. Gue gatau berita ini akan sampai atau enggak, tapi jelas bokap gue akan marah."

"Gue takut kepala gue diinjek atau perut gue ditendang sama sepatu kulit Bara. Itu sakit."

Semakin sesak mengingat semua itu. Asavella mempererat pelukannya ketika Brian membawanya terlalu erat dalam pelukan hangat.

“Pengen bobo Bi, tapi yang lama. Pengen enggak bangun.” Ucapan itu sungguh dimengerti Brian dengan jantung yang seakan tertusuk tombak. Brian mengangguk—tapi hatinya menolak jika itu terjadi entah hari ini, besok, atau lusa.

ASAVELLA [TERBIT] ✓Kde žijí příběhy. Začni objevovat