"Sini," panggil Gus Afkar menepuk tempat disebelahnya untuk Fiza.
Waktu sudah beranjak malam. Semua keluarga ndalem sudah pulang setelah dibujuk paksa oleh Gus Afkar. Ia merasa kasihan karena dari kemarin mereka menjaganya dirumah sakit, pasti kelelehan dan butuh tempat istirahat yang nyaman. Hanya ada Fiza yang menemaninya saat ini.
Fiza yang baru saja selesai salat Isya' pun langsung mendekati Gus Afkar. Tangannya menyentuh kening Gus Afkar untuk mengecek suhu badannya. Sudah tidak sepanas sebelumnya. Fiza merasa lega dengan itu
"Tidur sini."
"Mana muat ish, ada-ada aja," gerutu Fiza.
"Muat kok. Baring cepat."
Fiza terpaksa menuruti kemauan Gus Afkar walaupun masih terasa canggung. Bagaimana pun juga Gus Afkar adalah suaminya. Tidak haram mereka berdekatan.
Gus Afkar tersenyum dan ikut membaringkan tubuhnya disebelah Fiza. Pemuda itu mengambil tangan Fiza dan menggenggamnya dengan sangat erat, seolah tak ingin Fiza pergi jauh lagi.
"Kamu udah ngantuk, Fi?"
Fiza menggeleng kecil. Ia memang belum mengantuk. Sejak tadi ia masih tidak percaya dengan alur cerita hidupnya. Seakan semua seperti mimpi.
"Ayo cerita."
Fiza mendongak, menatap wajah Gus Afkar. "Semua ingatan aku hilang, bisa Gus ceritakan tentang aku?"
"Harus kumulai dari mana? Semuanya tentangmu itu istimewa."
Cubitan kecil melayang di lengan Gus Afkar. Kebiasaan kecil Fiza yang ketika salah tingkah tidak hilang ternyata.
"Fiza memiliki nama panjang Hafiza Aghnia adalah anak yatim piatu yang kemudian diasuh oleh Abi dan Umi saya. Singkat cerita kamu dibesarkan di pesantren Darul-Falah. Suatu insiden menyebabkan kita dijodohkan. Lalu kita saling jatuh cinta."
Gus Afkar sengaja menyembunyikan bagian pahit dalam kisah hidup dan rumah tangga mereka. Biarlah itu menjadi memori yang hanya bisa dikenang untuk dijadikan pelajaran.
"Mengenai kecelakaan itu... maksudku bagaimana bisa aku mengalami kecelakaan itu?"
"Saat itu kamu sedang menghadiri acara pameran di Malaysia. Pesawat yang membawamu pulang sempat mengalami hilang kontak sampai beberapa Minggu kemudian petugas menemukannya jatuh dalam keadaan terbakar disebuah hutan. Puing-puing pesawat berceceran. Semua korban dinyatakan meninggal, sebagian jasad hilang atau mungkin sudah tak utuh. Kami menemukan syalmu pada satu jenazah yang kami kira waktu itu adalah kamu. Ternyata bukan."
Kepala Fiza terasa berat mendengar cerita itu. Lintasan sebuah bayangan buram seolah memukul-mukul kepalanya.
Gus Afkar yang menyadari itu menghentikan ceritanya. Pemuda itu memeluk tubuh Fiza. "Sakit lagi ya. Jangan dipaksa kalau memang kamu tidak mengingat apa pun. Setidaknya identitasmu sekarang sudah jelas."
Sakit dikepala Fiza berangsur reda. Hatinya menjadi tenang dalam pelukan Gus Afkar.
"Pameran apa yang kuhadiri di Malaysia?"
"Pakaian syar'i. Istriku adalah seorang designer busana syar'i. Nanti saya akan membawa kamu ke butik yang sudah kamu rintis bersama Mbak Nada. Butik itu sudah jaya. Setelah kau pergi, Mbak Nada tidak membiarkannya begitu saja. Terlebih ingat kerja keras kamu dulu."
Alis Fiza menyatu. Designer? Butik? Tunggu-tunggu? Fiza memang suka menggambar sketsa desain pakaian sewaktu menjadi Hifdza di desa. Pernah sekali ia membuatkan Ranti dan Indri gamis dengan gaya kekinian menggunakan mesin jahit seadanya. Ia mendapat pujian karena itu. Indri bilang tidak percaya jika dirinya bisa membuat design mengingat sosok Hifdza yang asli sama sekali tidak pernah terlihat berkecimpung dengan hal itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
CINTA SEORANG GUS [END]
General FictionDemi menghindari sebuah aib, Gus Afkar terpaksa dinikahkan dengan ustadzah Fiza, perempuan yang lebih dewasa darinya. Gus Afkar tidak menyukai Fiza, tapi Fiza begitu baik dan sabar menghadapinya. Berbagai cara Gus Afkar lakukan agar Fiza mau menyera...