Part 3b: An Apologize Coffee

89.4K 6.8K 168
                                    

Alif menatap Sakti, merasa takut tetapi juga ia harus bicara menjelaskan semua hal tolol yang ia lakukan kemarin dan sekaligus minta maaf pada atasannya itu. Tetapi mengapa sekarang, setelah kejadian konyol akibat dari ketidakpekaannya, ia malah tak bisa berhenti melirik properti milik laki-laki itu? Doktrin dari Dian benar-benar merasuki pikirannya. Sekarang ia penasaran dan mengingat apakah kemarin barang pusaka itu bereaksi setelah aksi bodohnya –karena kata orang dan sepengetahuan gadis itu seorang gay tidak akan bereaksi apabila disentuh perempuan– Alif hanya mengingat tatapan Sakti yang sangat aneh baginya.

Fokus dong Alif, jangan ngeliatin yang lain-lain dong...

Alif menggelengkan kepalanya, matanya ia alihkan kembali pada wajah Sakti, menatap laki-laki itu dengan berani walau sebetulnya kakinya yang bersimpuh sudah gemetar.

Sakti mengangkat alisnya, seratus persen menyadari selama beberapa detik tatapan gadis itu terpaku pada properti kebanggaannya. Ia tidak bisa menyalahkan Alif, wajar kalau gadis selugu dia memikirkan macam-macam karena kejadian kemarin, dirinya yang sudah berpengalamanpun tak bisa menghentikan pikirannya mengenai gadis itu. Sejujurnya Sakti merasa malu, bagaimana bisa ia berfantasi kotor pada gadis yang usianya separuh dari dirinya.

Tetapi laki-laki itu menunggu apa yang akan dilakukan gadis itu. Ia hanya bersandar pada meja kerjanya, menunggu Alif bicara.

"Maafkan saya Pak. Kopi itu sebagai ganti kopi yang saya tumpahkan kemarin dan surat pengunduran diri itu..." Alif memulai pidatonya, tetapi pidato itu dipotong Sakti dengan tidak sopan.

"Tunggu sebentar..." laki-laki itu mengambil mug kopi lalu menghirup minuman pekat hangat itu, cairan harum memenuhi kerongkongannya dan membuat otaknya yang sempat korslet karena membayangkan hal-hal mesum dengan gadis itu menjadi berfungsi kembali.

"Hmm... kopi berkualitas tinggi. Kopi Aceh atau kopi Semendo?" Sakti bertanya ringan pada Alif, mengalihkan semua pembicaraan gadis itu.

"Kopi Semendo? Yang saya tahu itu kopi dari daerah Sumatera Selatan Pak." Alif bingung, mengapa Sakti malah berbicara tentang kopi yang sama sekali tidak penting baginya.

"Oh, Semendo. Alif, di Sumatera Selatan ada suatu daerah penghasil kopi terbaik bagi saya, ya Semendo itu. Makanya dinamakan kopi Semendo." Sakti berseloroh memamerkan pengetahuannya tentang kopi dan membuat Alif bertambah bingung. Gadis itu melongo, masih dalam posisi bersimpuh di lantai.

"Omong-omong, lanjutkan kembali apa yang ingin kamu bicarakan." Sakti memerintah Alif untuk meneruskan pembicaraan, Sakti menebak-nebak apakah Alif seberani yang ia pikirkan dengan membicarakan kejadian kemarin. Laki-laki itu menyesap kopinya dan tersenyum dari balik mug melihat gadis itu yang terlihat gugup sekali.

"Saya mengundurkan diri terhitung mulai hari ini."

"Kenapa, apa alasannya?"

"Bapak berniat untuk memberhentikan Ayah saya karena kejadian kemarin? Kalau memang benar begitu, lebih baik saya yang mengundurkan diri." Alif menunduk, ia tahu ia begitu kurang ajar karena menuduh atasannya.

"Apa? Kenapa kamu berpikiran seperti itu?"

Sakti terkejut dengan apa yang dikemukakan Alif. Ia memang tidak meminta Pak Bas sebagai supir cadangan apabila ia lembur karena kasihan dengan staf setianya yang mulai uzur. Dan juga ia tidak banyak memakai tenaga Pak Bas sebagai pesuruhnya karena ia tahu laki-laki tua itu cepat sekali lelah, tetapi ia tidak pernah berniat untuk memberhentikan Pak Bas dan mengalihkan laki-laki tua dengan mengerjakan tugas lain.

"Bapak mengatakan hal itu tepat setelah kejadian kemarin. Bagaimana saya tidak berpikir kalau itu bukan karena saya?"

"Mengenai kejadian kemarin, itu hanya kesalahanmu dalam memposisikan tanganmu." Sakti nyengir, sifat isengnya entah mengapa muncul kembali ketika melihat ekspresi wajah Alif yang membuatnya ingin tertawa.

Alif hampir ingin menangis, ia sudah membuang harga diri dan rasa malu untuk bertemu dan berbicara dengan Sakti, tetapi kenapa laki-laki ini dengan tidak peka mengungkit kejadian itu kembali. Kenapa ia tidak mengatakan 'ya' dan menerima pengunduran dirinya? Alif hanya menginginkan hal itu.

Sakti menyadari bahwa gadis di depannya ini mungkin akan segera menangis, wajah Alif merah dan matanya juga merah karena menahan air mata yang akan segera merebak.

"Lif, ayo bangun.." Sakti mendekatinya, ia mulai merasa tidak enak melihat gadis itu duduk seperti seorang pelayan. Tapi tiba-tiba Alif meletakkan tangannya ke lantai dan bersujud.

Sakti terdiam, ia tidak mengira Alif melakukan hal ini untuk hanya sekedar meminta maaf padanya. Laki-laki itu berjongkok di samping Alif dan tanpa menyadari ia mengelus rambut gadis itu sekilas. Tetapi sesaat kemudian Sakti menggenggam tangannya sendiri erat-erat, memerintah dirinya sendiri untuk menghentikan semua hasrat gilanya.

"Alif, saya sama sekali tidak berniat untuk memberhentikan Ayahmu dari pekerjaannya. Dan saya juga tidak menerima pengunduran dirimu." Sakti berkata pelan di samping Alif.

Alif yang masih berada di dalam posisi bersujudnya terkejut mendengar kata-kata yang diucapkan Sakti. Pelan-pelan gadis itu bangun dan melihat Sakti yang ikut berjongkok di sampingnya. Sinar mata gadis itu menatap Sakti dengan tidak percaya.

"Tapi saya mempunyai satu syarat, saya ingin kamu membuat kopi seperti ini tiap pagi untuk saya dan menemani saya mengobrol sebelum jam kerja dimulai. Bagaimana?" Sakti tersenyum pada Alif, entah hal gila apalagi yang ia lakukan saat ini demi untuk dekat dengan sang gadis yang sejujurnya bisa menjadi anaknya kalau ia menikah muda.

Alif melongo, penawaran Sakti benar-benar membuatnya kehilangan kata-kata. Tetapi dengan cepat ia juga berpikir mungkin laki-laki ini hanya om-om gay kesepian yang butuh seorang teman perempuan yang sama sekali tidak tertarik pada dirinya untuk bicara.

"Yang benar Pak?"

Fix... laki-laki ini gay. Buktinya ia tidak merasa sungkan dengan gadis yang pernah menyentuhnya dengan intim"

Sakti mengangguk, geli melihat tampang bengong gadis itu. Kemudian menghirup kopinya kembali.

"Err, saya bisa melakukan yang Bapak minta, tapi mengenai kopinya... itu kopi simpanan Abah, cuma diminum sesekali saja karena Abah suka sekali kopi itu. Jadi sebetulnya saya mencuri kopi itu karena Abah bilang Pak Sakti suka kopi itu juga." Alif nyengir dan menggaruk kepalanya yang sama sekali tidak gatal.

Sakti hampir tersedak karena ucapan Alif, kemudian laki-laki itu tergelak. Yang ia tahu ia hanya suka berada di samping gadis ini, Alif membuat dunianya penuh tawa ketika gadis itu hadir di sisinya. Sakti tidak berani memutuskan apakah rasa itu adalah sesuatu yang lain, karena ia takut kalau rasa itu memang benar ia tidak mempunya nyali untuk mewujudkannya.

***

My Young BrideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang