"Lepas!" desisnya berusaha melepaskan tangan yang melingkari perutnya dengan erat.

Cewek itu menggeleng dan malah makin mengeratkan pelukannya juga terisak makin keras membuat Manggala menghela napasnya. Mendongak dan memejamkan mata beberapa detik. Cowok itu kembali bebicara.

"Lo kenapa dan ngapain ke sini?" tanyanya tanpa ada niatan membalas pelukan cewek itu.

Tidak ada respon dan jawaban cowok itu pun kembali menyingkirkan tangan yang tengah memeluknya erat.

"Biarin kayak gini dulu, Gal," pinta cewek itu enggan melepas pelukannya.

"Lepas, Bi!" titahnya pada Bianca yang entah kenapa tiba-tiba datang ke rumahnya dengan kondisi yang kacau  seperti ini.

"Enggak!"

Manggala kembali mendesis. "Kalau lo mau cerita. Cerita aja gue dengerin, tapi jangan kayak gini. Di rumah gue nggak ada orang nanti bisa timbul fitnah," ucap cowok itu lembut karena ia tahu Bianca saat ini sedang tidak baik-baik saja.

Bianca menurut dia pun melepas pelukannya dan menatap wajah tampan Manggala dengan mata sembab.

"Udah berapa jam lo nangis sampe mata lo sembab kayak gitu?" tanyanya  sambil membawa Bianca masuk ke rumahnya tanpa menutup pintu. Biar  bagaimana pun tidak baik berduaan di dalam rumah saat sedang sepi.

Manggala meminta Bianca duduk di sofa yang tadi ia tempati sementara dia mengambil kembali kaos yang tadi ditanggalkannya dan memakainya. Bisa jadi fitnah jika ada orang tahu ia membawa masuk perempuan ke rumahnya dan ia berpakaian seperti tadi.

Bianca diam dia hanya menatap kosong ke depan. Sesekali isakan lolos dari bibir pucatnya.

Sebenarnya Manggala malas berurusan dengan Bianca setelah ia mengetahui cewek itu mengancam Gista. Selama ini meskipun ia tahu Bianca menyukainya, ia tetap bersikap biasa pada cewek itu demi menjaga pertemanannya. Namun, siapa sangka hal itu justru disalahpahamkan oleh Bianca. Cewek itu malah menganggap Manggala memberinya harapan. Dan setelah kejadian di rooftop itu ia merasa harus jaga jarak dengan cewek ini agar tidak terus salah paham dengan kebaikannya.

Hanya saja Manggala tidak bisa jika tidak peduli pada perempuan yang rapuh. Ia tidak suka melihat perempuan menangis. Untuk itu ia membiarkan Bianca masuk ke rumahnya. Barangkali gadis itu tengah menghadapi masalah yang besar. Dilihat dari matanya yang sembab dan bibirnya yang pucat.

"Kakak gue... " Bianca mencoba berbicara sambil menahan isakannya. "Kak Mahen... dia... dia semalem dibawa polisi, Gal," ucapnya lantas menutup wajahnya dengan kedua tangan.

"Dia ketahuan make," imbuhnya membuat Manggala yang duduk di sebelahnya memiringkan tubuh menghadapnya.

"Maksud lo Bang Mahen pecandu?" Manggala tak percaya jika Mahen ternyata memakai obat-obatan terlarang itu.

Ada kelegaan tersendiri pula di dalam dirinya karena Mahen ketahuan saat ia telah keluar dari Balapati sehingga  nama baik geng motor itu tidak ikut tercemari.

Bianca mengangguk dan membuka wajahnya menatap Manggala.

"Bantuin gue, Gal... bantuin gue keluarin Kak Mahen," pintanya menggenggam kedua tangan Manggala dengan tatapan memohon.

Manggala mengernyit lantas menaikkan sebelah alisnya. "Gue? Emang gue siapa lo, Bi?" tanya Manggala sarkatik.

Bukannya ia mau menambah kesedihan Bianca, tapi memang ia tidak punya hubungan apa-apa dengan gadis di depannya ini. Jadi, untuk apa ia membantunya. Dan ini bukan kasus kecil seperti tawuran. Ini  tentang kasus pemakai obat terlarang. Mana mungkin pula ia membantu membebaskan seorang pecandu agar bebas. Mahen tetap harus direhabilitasi.

GISTARA (END) Where stories live. Discover now