14. Sakit dan Sebuah Pelukan

54K 2.6K 106
                                    

JANGANUOA VOTE, KOMEN, FOLLOW !!!
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
ramein bagian ini dongs..

Kalau Pak Johnny nggak menelepon gue, maka gue nggak bakal pulang. Hati gue masih sakit jika harus bertemu dia sekarang. Sayangnya, gue nggak bisa menghindar. Mau nggak mau gue tetap balik ke apartement.

Wajah gue kelihatan kusut nggak sih? Ah, bodoh amatlah!

Begitu gue masuk, gue mendapati Pak Johnny sedang duduk di sofa. Di meja depannya terdapat beberapa paper pag dari brand-brand ternama.

"Malam Pak." Sapa gue seadanya. Setelah itu gue langsung melenggang pergi. "Saya mandi dulu Pak." Ucap gue sambil berjalan.

"Sini dulu." Dia memanggil gue.

"Saya mau mandi." Balas gue penuh penekanan. Hal itu membuat jidat Pak Johnny berkerut. Sepertinya ia ingin membantah namun ia mengurungkan niatnya dan membiarkan gue pergi.

"Tadi saya udah pesankan makanan. Abis mandi kita makan dulu."

"Iya." Jawab gue tanpa meliriknya sedikitpun.

Gue masuk ke kamar mandi yang berada di kamar. Sebelum mandi, gue pastikan bahwa pintunya sudah terkunci. Pria di luar itu suka masuk sembarangan. Daripada dia gangguin aktifitas mandi gue, mending gue kunci pintunya.

Rasanya rileks saat menenggelamkan tubuh gue di bathup. Hangatnya air sejenak membuat gue lupa dengan rasa sakit hati ini.

Entah sudah berapa lama gue berendam. Suara ketukan pintu membuat gue tersadar. Bukan hanya sekali dua kali pintu diketuk. Berulang kali, lengkap dengan suara panik.

"Shane, are you okay?" Pak Johnny terdengar khawatir.

"Open the door, Baby!" Teriaknya lagi.

"Kamu udah terlalu lama di dalam. Kamu nggak papa kan?" Gue muak mendengar suaranya.

"Okay, saya dobrak pintunya."

Bertepatan dengan itu, gue membuka pintu. Wajahnya gusar sekali. Dalam sekali hentak, tubuh gue dipeluknya.

"Kamu ngapain lama banget di dalam? Kamu sakit?" Matanya sedang me-scanning gue dari ujung kepala sampai ujung kaki, memastikan bahwa gue dalam keadaan baik atau enggak.

"Saya baik-baik aja." Gue menghempas tangannya.

Pak Johnny menatap gue lamat. "Kita ke dokter sekarang. Kamu sedang nggak baik-baik aja." Mulai lagi dia seenaknya memerintah gue.

Saat ini gue sedang malas berdebat. Kasur terlihat lebih nyaman dibanding harus beradu mulut dengannya. Melihat gue yang sudah mengambil posisi tidur, pria itu mendekat lagi. "Kita ke dokter dulu baru kamu tidur."

Gue mengabaikannya. Seolah tuli, gue malah berbalik darinya. Saat ini gue butuh tidur.

Helaan napas berat terdengar darinya. Tak lama kemudian gue mendengarnya berjalan menjauh. Pintu kamar tertutup, sepertinya dia pergi meninggalkan gue. Tidak perlu memikirkannya, pikiran gue akan makin terbebani. Oleh sebab itu, gue memilih untuk tidur saja.

"Wake up Baby," pipi gue terasa diusap oleh seseorang. Saat membuka mata, gue mendapati Pak Johnny sedang duduk di tepi ranjang. Wajahnya lurus memandangi gue. "Bangun dulu. Kalau nggak mau ke dokter, paling enggak kamu harus makan."

Ingin gue abaikan perintahnya. Namun, di saat bersamaan, perut gue justru berbunyi. Uh, perut dan otak nggak sinkron.

Pak Johnny tersenyum. "Ayok makan." Dia sudah menyiapkan sebuah nampan yang berisi makanan.

My Lecturer My Sugar DaddyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang