Sudah tiga hari Alana tidak masuk kuliah. Tubuhnya demam, menggigil, dan tulang-tulangnya terasa remuk. Ayah yang sedang berada di luar kota pun meminta Alana untuk istirahat, karena beliau sudah mengizinkan puterinya untuk tidak mengikuti kuliah sampai gadis itu sembuh. Ayahnya juga bertitip pesan jika keadaannya semakin memburuk, mengharuskan Alana meminta tolong kepada kekasihnya untuk mengantarnya ke rumah sakit. Namun, meski kesehatannya tak kunjung pulih melainkan tambah tumbang, Alana tidak menghubungi siapapun, apalagi Lio. Yang Ayahnya tahu, mereka berdua belum putus. Jadi, wajar beliau berpesan demikian.
Sudah sejak lama Alana berbaring di tempat tidur. Kini tenggorokannya terasa kering, dia ingin minum. Tetapi dia tidak kuat sekadar untuk menahan beban tubuhnya. Pusing yang menyerang kepalanya dari kemarin tak kunjung menghilang. Sahabat-sahabatnya yang makin sering berkunjung untuk melihat kondisinya pun sudah memaksa agar Alana mau dibawa ke rumah sakit. Tapi, lagi-lagi Alana tidak mau, beralasan bahwa sakit yang dia derita hanya masalah sepele. Alana juga tidak ingin membuang-buang uang. Lagi pula, biasanya demam seperti ini bisa sembuh walau hanya dengan obat di apotik.
Sudut kepalanya tambah berdenyut nyeri saat dia mengingat kejadian tempo hari. Masih soal mantan kekasihnya, Lio. Alana tidak menyangka hubungan yang sudah berjalan hampir tiga tahun, pupus tak bersisa. Hubungan yang mulanya baik-baik saja dan berjalan lancar, kini malah membawanya pada kesedihan yang menyakitkan.
Dalam keheningan ruang kamarnya, Alana meratapi perpisahannya dengan Lio. Di luar hujan sedang mengamuk, membawa hawa dingin tak berkesudahan. Tubuhnya remuk luar dalam. Dan bertepatan dengan getaran petir yang terdengar mengerikan saat itu, Alana berteriak. Disusul tangisan hebat yang berlomba-lomba bersama deru hujan.
Dia takut dengan suara gelegaran petir. Dia juga kesakitan karena di kondisinya saat ini, tidak ada siapapun. Berpura-pura kuat bukan hanya melelahkan, tapi membunuh diri sendiri. Tangisannya belum kunjung mereda.
Tak ingin terus menerus ditemani senyap, Alana meraih ponsel yang tergeletak di sampingnya. Memutuskan untuk menghubungi sahabatnya yang setidaknya sedang senggang. Alana butuh teman. Namun, saat akan menghubungi mereka, Alana ingat sahabat-sahabatnya pasti sedang mengisi kuliah hari ini. Yang Alana ingat hanya Kaira yang masuk kuliah pagi, jadi kemungkinan sore ini dia sudah pulang. Semoga saja Kaira bisa menemaninya hari ini.
Alana menekan dial telepon tanpa berlama-lama dan langsung menempelkan benda pipih tersebut ke telinganya. Lalu saat panggilan tersambung, Alana berkata, "Kai, gue sendirian di rumah. Bisa temenin?"
Alana mengernyit, sebab setelah ia menanyakan kesediaan temannya, telepon malah terputus begitu saja tanpa ada sahutan berarti dari seberang. Ketimbang itu, Alana berharap Kaira segera datang.
ˑ༄ؘ ۪۪۫۫ ▹◃ ۪۪۫۫ ༄ؘ ˑ
Tidak ada yang bisa mencegah laki-laki itu menerobos hujan dengan mobil hitamnya. Suara sengau Alana membuatnya kalang kabut di jalanan yang lembab. Ia tidak tahu mengapa gadis itu bisa salah sambung kepadanya. Namun alih-alih terganggu, Lio sangat bersyukur karena gadis itu salah mendial kontaknya.
Ponselnya berdering, Lio melirik dan ternyata si pemanggil adalah Ayahnya sendiri. Jika orang lain yang meneleponnya di saat seperti ini, Lio tidak akan menjawabnya. Tapi Ayahnya berbeda, Lio tidak mau mengundang kekacauan lagi nanti di rumah kalau sampai dia tidak mengangkat telepon tersebut.
"Halo, Yah?"
"Kamu di mana? Pintu rumah kok nggak ditutup, pantesan pigura Ayah banyak yang jatuh, anginnya kenceng."
Lio memejam sesaat sebelum kembali fokus pada jalanan, "Maaf, Yah. Aku keburu-buru tadi."
"Memangnya kamu ke mana?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Heartbeat 2 [ first snow ]
Romansa[ Sequel Heartbeat ] "about the story that had stopped. an unexpected encounter, brings the story back on track" -Hearbeat 2
![Heartbeat 2 [ first snow ]](https://img.wattpad.com/cover/258640864-64-k796466.jpg)