17.1

20.3K 4.4K 514
                                    

Selamat membaca



Jangan lupa taburan bintang dan komen, bestie! 🤌🏻🤣

STEVEN BERSUNGGUH-sungguh menyiapkan diri untuk kencan pertamanya bareng Rukma. Karena sadar memiliki kebiasaan buruk melupakan apa pun saat bekerja—khusus hari ini—dia menyetel alarm lima belas menit sebelum waktu kerja berakhir. Dia juga mengirim pesan ke grup tim agar datang zoom meeting tepat waktu, yang langsung ditanggapi beragam sahutan dengan rasa heran dari beberapa anggota.

Wajar. Dia tidak pernah mengirim pesan lebih dulu ke grup, menjawab saja kadang cuma singkat-singkat.

Dia sadar tingkahnya semakin keluar dari peraturan-peraturan yang dibuat bertahun-tahun silam. Sialnya, Steven tidak bisa berhenti. Dia terus mempersiapkan diri seakan-akan sedang membuat sebuah rancangan demi memukau semua orang, bukan cuma si klien.

Ketika memandangi pantulan diri di cermin usai menata rambut dengan gel, dia malah melihat dirinya dari masa lalu—Steven yang terburu-buru jatuh cinta demi keluarga yang lebih manusiawi dari apa-apa yang dibangun sang mama.

Dia mematung, tetapi sebelum lebih banyak kenangan menyebalkan memasuki otaknya lalu membuatnya meragukan segala keputusan di mana sekarang—Steven menggeleng keras.

Sembari bersiul riang dan memutar kunci mobil di telunjuk, dia menuruni tangga. Benar saja dugaannya, Rukma sudah siap.

Perempuan itu sedang berdiri memunggunginya sekaligus bersandar di pinggiran lemari cokelat—pembatas antara area depan dan area lebih pribadi. Kalau dilihat dari cara berpakaian, Steven berani bertaruh Rukma juga melakukan hal yang sama dengannya. Lihat saja dari cara rambut yang digerai benar-benar mulus dan berakhir tepat di atas bahu. Jelas-jelas ada peran alat catok di sana. Lalu, pemilihan turtleneck tosca tanpa lengan—wah, apa itu undangan terbuka untuknya memeluk Rukma? Karena begitu matanya tertuju pada kulit bahu dan lengan mulus itu, Steven bisa mendengar bisikan; Udaranya sejuk. Ayo, peluk aku sekarang.

Dengan satu tangan terkepal di punggung—menahan keinginan buat menyentuh Rukma, Steven membawa kakinya melewati anak tangga terakhir, sementara matanya menolak berhenti melakukan pengamatan.

Memperhatikan betapa sempurnanya jins hitam menyelimuti bokong—Rukma tiba-tiba membalik badan hingga pikiran-pikiran sialan dan liar milik Steven berhenti berkembang, mencegah bibirnya mengajukan ide bergelung di ranjang lebih baik daripada melelahkan diri di jalan menuju tempat pilihan Rukma yang entah di mana.

Rukma melangkah ringan menghampiri Steven, lalu sedikit berjijit sampai bibir perempuan itu sejajar dengan telinga kananya.

"Bapak Steven yang terhormat, saya malam ini bertekad menghabiskan waktu di luar rumah bukan di ranjang," bisik Rukma. "Jadi, berhenti memandangi saya seolah-olah saya lagi naked!" Satu pukulan lemah mendarat di bisap Steven, dan Rukma kembali berdiri normal di hadapannya—dengan senyum tipis yang memutar rangkaian adegan kemarin. "Ayo!"

Demi meredakan sedikit rasa kecewa yang menggeliat, Steven memutar posisi Rukma jadi memunggunginya lagi. Kemudian, menaruh kedua tangan di bahu perempuan itu dan bergerak naik turun secara lambat di kulit lengan Rukma. Tidak ada maksud apa pun, tapi—sudahlah.

"Let's go," kata Steven, setelah mengusir segala pikiran yang membuat badannya breaksi berlebihan.

Mereka berjalan bersama bagai anak kceil memperagakan bentuk kereta api. Rukma di depan, dan Steven di belakang tanpa menyingkirkan rengkuhan dari kedua sisi bahu perempuan itu. Mengabaikan saat pintu terbuka, pandangan mereka bertubrukan dengan satu barista yang baru beres merokok dan jelas-jelas memasang ekspresi terkejut. Steven sempat berniat menurunkan tangan, tetapi teringat obrolan mereka makan siang tadi—pada ucapan Rukma, "Aku udah terlalu tua buat menutup-nutupi apa yang terjadi, dan mereka udah cukup umur buat memahami apa yang sedang kita lakukan. Jadi, nggak perlu sembunyi-sembunyi."

The TeaseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang