Empat | Kenyataan yang Lain
Suara lonceng di balik pintu terdengar kala remaja SMA dengan jaket berwarna putih itu mendorong pintu masuk kafe Kopikita, sebuah kafe yang biasanya dijadikan tempat nongkrong para mahasiswa sebab lokasinya berada tepat di depan sebuah universitas.
Abil sebenarnya heran kenapa Alwin mengajaknya bertemu di kafe itu. Selain lokasinya lumayan jauh dari tempat tinggal mereka, setahu Abil, Alwin biasanya lebih suka mengajak ketemuan di lapangan basket atau taman kota. Alih-alih mengobrol santai sambil minum kopi di kafe.
Sampai kemudian, lambai tangan seseorang yang terekam lensa matanya, menjawab semua rasa heran yang sempat mengganggu pikiran Abil.
“Kak Alfi? Alwin-nya mana?” sempurna tubuhnya berdiri di hadapan Alfi, Abil bertanya.
Alfi tersenyum tak enak. Ia memberi kode kepada Abil untuk duduk di hadapannya. “Sebenarnya yang kirim pesan sama lo itu gue, Bil. Ada hal penting yang harus gue kasih tahu sama lo tentang Alwin.”
“Jadi, Alwin-nya enggak ada?” Abil mendadak lemot.
Alfi mengangguk, sementara Abil mengambil posisi untuk duduk di hadapannya. “Alwin di rumah.” Alfi nyengir, merasa tak enak, tetapi ia tahu kalau Abil tidak mungkin marah hanya karena hal ini.
“Oh, pantesan. Makanya gue heran kenapa Alwin ngajak ketemu di tempat kayak gini. Emang ada apa, sih, Kak?”
“Sebenarnya ….” Sesaat Alfi biarkan udara memenuhi diafragmanya, selagi memantapkan hati kalau keputusannya memberi tahu Abil itu bukanlah sebuah kesilapan. “Alwin sakit,” imbuh Alfi. Tertunduk sedih kemudian.
Kedua alis tebal Abil bertemu kontan. Apa maksud sakit yang Alfi tuturkan? Jika hanya sekadar sakit biasa, apa harus Alfi sampai berbicara serius seperti ini dengannya? “Sakit? Sakit apa?” Apa ini alasan kenapa Jihan bilang kalau Alwin seperti tengah menyembunyikan sesuatu dari mereka?
“Astrositoma .” Kepala Alfi semakin tertunduk dalam. Nada sedih jelas terdengar di balik suara halusnya.
“Astro—apa, Kak?” tanya Abil sedikit kesulitan menangkap nama penyakit yang Alfi paparkan. Kendati demikian, melihat wajah Alfi yang dikawani awan supergelap, membuat Abil yakin bahwasanya penyakit yang baru saja Alfi kabarkan bukan jenis penyakit biasa yang bisa sembuh sehari dua hari.
YOU ARE READING
RUMIT
HorrorRumit. Hanya itu yang bisa menggambarkan kisah mereka saat ini. Tak hanya perihal hati dan perasaan yang rasanya begitu sulit dijabarkan bahkan dengan semua kosakata yang ada di muka bumi ini, kehidupan mereka pun layaknya benang kusut yang mustahil...