"Raga lagi apa, ya?" gumam Nesya menatap ke arah satu dua gumpalan awan di langit. Cuaca memang tengah tidak menentu, kadang cerah kadang gelap gulita oleh gelungan awan hitam yang membungkus kota.

Melamun, memberikan celah pada otak mengingat bayangan teman tiga besarnya berdadah sedih dari dalam mobil yang akan melaju.

Dia tidak bisa bohong kalau sengatan sakit itu terus mencengkram mentalnya, menusuk berulang kali sampai untuk bernafas saja sesak, belum berhenti disana berdengung suara berat Pak Abinaka memenuhi sekitar yang mendadak senyap.

"Ahahaha, anjing emang," umpat Nesya tertawa kecut sendiri. "Tolol, iya gue tolol."

Tidak henti menyalahkan sampai bulu kucing oranye menggeliat mengenai tangannya. Nesya menarik nafas dalam, terkejut. Menengok ke samping, nafasnya ia buang perlahan-lahan. Menggendong ke pangkuan, dielus lembut, dengan begitu saja suasana hatinya sedikit membaik.

Diangkatnya kucing tersebut untuk saling tatap. "Gue jadi percaya deh, kalo dalem kucing ada malaikat yang lagi nyamar... eh tapi kan katanya mitos itu buat ngehibur orang baik, gue baik cing?" tanya Nesya retorik sebab ia tahu jawabannya. "Gak juga, gue anjing... lo kucing? apaan sih, gak jelas lo."

Tiba di rumah pukul setengah tujuh malam, tidak memaksa untuk percaya, tapi ini sungguhan. Nesya berjalan dari taman untuk sampai ke rumah.

"Baru pulang lo? bagus gue baru aja deliv makanan," kata Major yang duduk di sofa, mulutnya sibuk mengunyah buah apel.

Nesya berdecak, ah si bajingan itu. Sejak kapan jadi sering telanjang dada jika di rumah? pamer akan otot-otot tubuhnya begitu? cih! menggelikan.

"Iya, gue mau mandi dulu," balas Nesya menaiki anak tangga. Terlalu capek sampai tidak sempat berpikir alasan apa major--baik.

Drttt...

Monica:
Gw dipihak lo, kalo butuh apa-apa ke gw aja, okey? okeyy?

Usai mandi Nesya berjalan gontai turun ke bawah. Memaksakan betis yang mungkin sudah sebesar paha ayam negeri tersebut menghampiri Major di meja makan.

"Makanan gue mana?"

"Makanan?" Major mengelap pada kain lap.

"Iya... lo tadi kan---"

Tawa major membuat Nesya berhenti bersuara. "Siapa yang ngomong emang buat lo? gue pesen banyak buat Geo, ada tuh sisa gue. Makan aja enggak gue acak-acak."

Nesya termangu di tempat. "Anjing?"

Major memang sudah lama memelihara teman---anjing maksudnya. Bernama Geo, anjing jenis siberian husky berbulu abu campuran putih.

"Iya, kenapa?" Major menanggapi lebih ketus bernada tinggi.

"JADI GUE LEBIH PENTING DARI ANJING?"

"YAAAA, HARGA DIRI LO AJA JAUH LEBIH TINGGI ANJING."

Pegangan Nesya pada meja mencengkram kuat. "TERUS GUE HARUS MAKAN SISA LO?"

"UNTUNG GUE KASIH!"

"UDAH BERKALI-KALI MAJOR LO GINIIN GUE, MIKIR GAK SIH LO?" sentak Nesya, nafasnya menderu.

Manjor terkekeh dingin. "Terus apaan? mau gue perlakuin adek? najis anjing."

"YANG HARUSNYA DAPET SISA ITU ANJING! GUE MANUSIA MAJOR!" urat pelipis Nesya menegang.

"SEJAK KAPAN, HAH? LO ANJING DI MATA GUE, SIALAN!" mengembang suara berat Major ke tepi ruangan.

"ANJING?" Nesya memalingkah wajah ke atap ruangan, tertawa getir. "LO NEMPATIN GUE DI BAWAH ANJING! SISA, SISA, SISA, BEKAS, BEKAS. SETAN! JALAN GAK SIH OTAK LO?! MIKIR GAK KALO SIKAP LO ITU IBLIS, BAJINGAN!"

Testudines:AmongragaWhere stories live. Discover now