Aku hanya baru sadar. Raga memang jarang mengajakku mengobrol jika di kelas. Paling sekadar saling tanya masalah pelajaran. Tampak terlihat normal. Sangat berbeda jika hanya ada kami, seperti halnya ketika dia mengantarku pulang. Ada saja obrolan yang hidup sepanjang putaran roda melalui jalanan beraspal ke rumahku.

Lalu, hubungan kami ini sebenarnya apa?
Heh! Lagi-lagi mikirnya yang tidak-tidak!

Tanpa terasa, aku sudah menunggu cukup lama. Satu jam ada kali, ya? Raga benar-benar tidak muncul. Apa boleh buat. Aku harus pulang sekarang meski gerimis masih membumi. Lumayanlah tidak sederas tadi. Aku tidak akan begitu kuyup saat sampai rumah. Untung buku-buku dalam tas sudah masuk ke plastik. Tadi aku berinisiatif meminta kantong plastik ke Mbak Ginuk untuk menyelamatkan mereka. Mengingat sudah memasuki bulan Oktober, musim penghujan mulai memasuki pembukaan. Bisa jadi, besok pun akan turun hujan, meski jam berapanya masih sulit diprediksi.

Sialnya, saat masih setengah perjalanan, hujan kembali menderas. Belum lagi tidak ada tempat berteduh sepanjang jalur pulang. Alhasil, tubuh kuntetku berlari-larian di tengah hujan menjelang malam. Dingin sekaligus berat karena aku membawa tas dengan lima buku cetak setebal di atas 300 halaman.

Begitu sampai rumah, aku segera mandi air hangat. Selesai mandi, segera kunyalakan tungku yang biasa dipakai Ibu untuk merebus air minum. Di rumah, kebutuhan air minum kami tidak dengan membeli. Ibu lebih suka merebus air yang sumbernya dari air tanah. Lagian, kalau harus membeli, pengeluaran rumah tangga akan semakin membengkak.

Kebetulan, stok air minum kami menipis. Sembari merebus satu panci besar air, aku meletakkan sepatu yang basah di atasnya. Aku belum sempat membeli sepatu cadangan. Jika tidak dipanggang begini, aku tidak punya sepatu kering untuk besok.

Sambil menunggu air mendidih dan sepatu cukup kering, aku menyeduh teh. Untung masih ada sisa air hangat di termos.

Jika kalian bingung kenapa ada tungku di dalam rumah, maka jawabannya karena rumahku masih amat sederhana. Masih berdinding bata merah dengan lantai yang hanya diplester halus. Sementara dapur masih berlantai tanah karena Bapak belum memiliki biaya untuk merenovasi. Lantai plester halus saja baru satu tahun belakangan. Jendela rumah kami masih jendela dari bambu yang dilapisi plastik transparan. Semua masih tampak sederhana karena biaya pembangunan hanya pas-pasan.

Kata Bapak, "Yang penting kita sudah tidak numpang di rumah Nenek. Sekalipun masih sangat sederhana, kita harus bersyukur karena sudah punya rumah sendiri. Kita enggak kepanasan juga enggak kehujanan. Meski masih banyak nyamuk karena beberapa bagian belum tertutup sempurna, ini sudah lebih baik. Nanti fokus dirapikan setelah Mbak Tha dan Mbak Isma lulus. Kalau masih pada sekolah, Bapak fokusnya ke biaya sekolah kalian dulu."

Ah, Bapak. Kenapa beliau semangat sekali menyekolahkan kami?

Agak susah jika mengeringkan bahan sepatu hanya dengan menempelkannya di atas panci panas. Meski aku patut bersyukur karena sudah tidak basah-basah amat. Mungkin kalau kubiarkan semalaman di atas panci panas, besok pagi sudah jauh lebih kering.

Aku masuk ke kamar untuk segera beristirahat dengan lebih dulu menyiapkan buku-buku pelajaran esok hari. Syukurnya aku punya tas cadangan. Tas yang basah tadi akan kucuci besok sebelum berangkat sekolah.

Begitu melihat tumpukan buku di meja belajar--jangan membayangkan meja belajar mewah sekelas Olympic karena meja belajar yang kupunya hanya meja sederhana seperti yang ada di sekolah, itu juga meja bekas pemberian tetangga--aku melihat ponsel yang tadi pagi tertinggal.

Gegas aku membukanya dan menemukan beberapa pesan dari beberapa orang, salah satunya Raga. Ada pesan Mbak Ginuk yang diterima beberapa menit lalu. Menanyakan aku sudah pulang atau masih menunggu. Segera saja kubalas kalau aku sudah sampai rumah.

Ada yang Memang Sulit DilupakanHikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin