Part 4 : Makhluk Tak Kasat Mata

7 1 0
                                    

Kembali ke tujuan sekolah Teratai Hitam Yang membentuk manusia berbudi luhur, tahu benar dan salah, kami diberi tugas masing-masing kelompok untuk membantu orang-orang sebanyak mungkin.

Master Citra memberi kami tugas di luar sekolah untuk belajar menjadi manusia berguna, kami diperintahkan selama satu hari penuh untuk mengumpulkan apa saja yang sudah kami lakukan kepada orang-orang sekitar.

Itulah fungsi dari gelang hitam di tangan kami ini, selain sebagai pertanda tingkat dalam sekolah, di gelang ini sudah diberi aura sihir untuk mendeteksi hasil atas apa yang kami lakukan.

Angin berhembus lembut, mentari cerah, sinarnya sedikit tembus melalui celah-celah daun, suara burung berkicau. Kami sekarang tengah berada di hutan, Hani sebagai kelompok E memerintah kami untuk datang ke kampung terpencil, di dalam hutan.

Dengan mengenakan seragam sekolah, berwarna hitam, kami berangkat pukul 07.00.

Dalam perjalanan kami lebih banyak diam, disebabkan aku dan Bedul lebih banyak tidak serasi, ditambah pemimpin kami Hani adalah sosok yang pendiam jadinya lengkap membuat perjalanan sunyi, membuat suara burung terdengar jelas. Berjalan sekitar 30 Menit, syukurlah kami akhirnya sampai.

"Mayoritas orang-orang di sini adalah petani. Jadi, kita harus membantu mereka dalam mengurus lahan pertanian. Entah menyiangi rumput, memanen, atau membajak sawah." Hani berkata saat sudah sampai.

Kami menggangguk. Wah, membantu petani? Nampaknya ini akan menjadi seru sekali.

Di kampung ini walaupun berada di dalam hutan, terpencil, namun cukup ramai, ada mungkin ratusan rumah di sana. Rumah-rumah nya berada di samping-samping jalan kendaraan, masih dari tanah, sedikit membantu petani-petani di sini untuk membawa hasil panen mereka. Aku tahu itu, kelihatan ada satu-dua mobil pengangkut barang di depan-depan rumah warga.

Yang menariknya, di belakang-belakang rumah mereka hampir semuanya terbentang ladang. Ada yang menanam padi, ada yang menanam jagung, sayur-mayur, kacang. Memandanginya sangat menyejukkan mata.

Kami mendatangi salah satu ladang yang tengah panen kacang tanah. Ada 5 ibu-ibu di situ, dan 3 bapak-bapak, sibuk mencabuti tanaman kacang, dan mengambil kacangnya.

"Permisi Bu." Hani menghampiri salah satu ibu-ibu.

"Maaf menganggu, Bu." Ia berkata sopan. Sikapnya berubah ketika berbicara dengan orangtua, terlihat lemah lembut dan ramah. Lain sekali ketika berbicara dengan kami, dingin, datar, seolah malas.

Petani memang rajin-rajin, lihatlah, baru pukul 7.30 mereka semua sudah sibuk di lahan.

"Iya, ada apa adik-adik manis?" Ibu itu menghentikan sejenak pekerjaannya, menoleh.

"Kami dari sekolah Teratai Hitam, diberi tugas oleh Master untuk membantu masyarakat sekitar. Kalau diperbolehkan, kami ingin membantu memanen kacang tanah di sini, Bu."

Ibu-ibu itu melihat ke arah kami, tersenyum.

"Wah, sekolah Teratai Hitam memang benar-benar baik, tugas sekolah mereka berbeda dari sekolah-sekolah biasanya." Katanya.

Sekolah Teratai Hitam rupanya cukup terkenal, orang-orang sudah tahu bahwa Sekolah ini adalah sekolah khas, tujuannya yang mulia membuat tidak sedikit masyarakat mau menyekolahkan anaknya di sana.

"Kalian pakai serindak dulu, kebetulan ada beberapa serindak yang tidak terpakai di dangau. Matahari panas, nanti kepala kalian bisa pusing dibuatnya. Tunggu sebentar." Ibu itu berjalan menuju dangau, pondok kecil tempat istirahat, lantas kembali beberapa detik kemudian, meminjamkan kami 3 buah serindak, topi khas petani yang terbuat dari anyaman bambu. Kami mengangguk berterimakasih.

Aku mulai meniru mereka, duduk, mencabut rumpun kacang.

Huffttt ... Gagal, tidak ada kacang yang didapat setelah aku tarik, rumpunnya putus.

Salah satu ibu-ibu di sana tertawa kecil, "Pelan-pelan mencabut rumpunnya, harus digoyangkan sedikit, biar tanahnya gembur dan umbi kacangnya bisa ikut tercerabut." Ia memberikan contoh. Aku memperhatikan, mengangguk, oh begitu rupanya.

Bedul juga mulai membantu.

Umbi kacang yang sudah dipisahkan dari akar dimasukkan ke dalam ember.

Hani mengangkat tangannya, membuat sekitar sepuluh rumpun kacang tercerabut dan melayang ke udara. Ia kemudian memisahkan kacang dari rumpun kacang tatkala rumpun kacangnya melayang.

"Wah, gadis kecil ini berbakat rupanya. Baru masuk sekolah Teratai Hitam sudah bisa menggunakan sihir. Hebat." Ibu-ibu dan bapak-bapak di sana berseru takjub.

Sihir juga bukan sesuatu yang aneh di sekitar sini, orang-orang tahu itu, jika bersekolah di sekolah Teratai Hitam biasanya bisa menggunakan sihir.

Aku ikut takjub, rupanya sihir bisa berguna juga untuk pekerjaan seperti ini.

Kami mulai terbenam sibuk dengan pekerjaan, hampir satu jam berlalu, keringat mengucur deras, panas, tapi seru.

Di saat itulah, di tengah kesibukan kami, terdengar riuh orang-orang berteriak di ladang sebelah, pekikan-pekikan membuat para petani mendatangi tempat kejadian.

Di sana, seorang bapak-bapak dibacok tangannya menggunakan pisau oleh bapak petani lainnya.

Mataku terpelotot, selain ngilu melihat kejadian tersebut, aku melihat sesuatu dalam diri bapak petani itu, makhluk tak kasat mata di mana semua orang tidak bisa melihatnya tengah mengontrol tubuhnya.
.
Bersambung ...

Teratai HitamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang