Jalanan yang berwarna abu selalu basah tiap pagi. Tak heran beberapa orang mengenakan pakaian tebal bahkan berlapis-lapis dengan sebuah payung digenggaman tangan mereka. Tanpa bertanya ada apa yang terjadi pun, aku sudah bisa menebaknya bahwa hujan semalam mengguyur kota mereka. Akhir tahun memang selalu mendatangkan musim dingin.
Saat ini aku tengah duduk di halte, menunggu bus yang akan datang bertujuan ke sekolah.
Bagaimana rasanya menjadi orang dewasa yang berlalu lalang sendirian menggunakan kedua kakinya? Aku sempat berfikir, apa mereka tidak akan terlambat ke kantor jika harus berjalan kaki? kedua orang tuaku sendiri bahkan menaiki kendaraannya masing-masing. Apa mereka tidak memiliki cukup uang untuk angkutan umum?
Lamunanku selalu mengarah ke pertanyaan-pertanyaan yang tak akan pernah ada yang menjawabnya. Karena yang mendengar isi hatiku hanya diriku.
"Hey!"
Belum lagi sinar mentari yang selalu aku tunggu. Karena sedari kemarin hanya muncul di siang hari tepat jam dua belas terik.
"HEY!!!"
Memasangkan earphone dikedua telinga adalah kebiasaanku untuk mendengarkan lagu-lagu. Dan tentunya sangat ampuh untuk menghindari suara sekitar. Orang berteriak pengecualian.
"HEY SERAYA TEPOS!"
Aku menghela nafas berat. Memejam sebentar dan mematikan lagu yang kuputar berulang kali.
"Apa?" tanyaku.
"Mau bareng ga?"
"Engga."
"Kenapa?"
"Aku gamau pacarmu ngomel-ngomel lagi."
"Hah? Ada apa gerangan seorang Seraya tukang sayur peduli? Kemana sifat ketidak pedulianmu kepada semua umat?"
Aku menatap tajam. "Berhenti mengejek namaku! Sudah sana pergi," usirku.
Setelah membujukku seribu kali dan kutolak dengan jumlah yang sama, akhirnya lelaki itu pergi dengan motor hitamnya.
Namanya Almon. Selain berstatus teman satu sekolah, kami juga tetanggaan. Tak lepas dari sekolah dasar sampai sekolah menengah atas saat ini, aku selalu berdampingan dengannya. Tidak, tidak. Maksudnya dia yang selalu menggangguku.
Almon juga pernah mengatakan bahwa kami akan menjadi tetangga seumur hidup. Kamu pasti sudah bisa menebak bagaimana saat itu aku menanggapinya. Benar, aku tidak menanggapinya.
Ini bukan kali pertamanya Almon menawarkan tumpangan. Seminggu yang lalu ketika sekeluarga kesiangan, Ibu mendatangi rumah Almon dan menyuruhnya untuk pergi bersama. Saat itulah pacarnya repot-repot menegur sampai mendatangiku di kantin sekolah. Kamu bisa membayangkannya sendiri bagaimana raut wajah mereka yang menyaksikannya. Almon memang sampah!
Dan semenjak insiden itu aku tidak pernah menginjakan kaki lagi di kantin.
Selepas menempelkan kartu pembayaran, bus yang kumaksud kini sudah laju meninggalkan halte yang hanya tiga orang termasuk aku yang kebetulan menunggu kedatangannya tadi.
.
Perkenalkan aku Seraya Sayu.
Dengan hembusan angin serta gugurnya musim semi membuat daun berterbangan bahkan sampai namaku terciptakan oleh sang pasangan.Mereka yang mengetahuiku tak lain karena melihat mata mengantuk terhias jelas di area permukaan wajahku. Bukan sebuah anugerah terlihat keren tanpa ekspresi, tapi aku tidak suka membuang energi merasakan keram jika harus terus tersenyum.
.
Aku turun bersama seseorang berseragam sama dengan yang kupakai. Sepanjang perjalanan rasanya aku tidak melihatnya di dalam bus. Dan juga tidak pernah ada satu orang pun yang menaiki bus selain diriku murid sekolah ini. Baiklah, anggap saja karena aku sibuk tidur.
Bola mataku hanya menangkapnya sekilas dan tidak terlalu penasaran dengan wajah miliknya sama sekali. Tetapi sayangnya satu hal terjadi saat ini.
"Hey!" Panggilnya.
Langkahku reflek terhenti. Dan dengan malas aku memutar tubuh hingga matanya dengan mataku bertemu. Bola mata berwarna cokelat tua terlihat sangat cocok melekat ditengah-tengah sclera miliknya.
Ah.. dia hanya seorang lelaki dengan wajah papasan.
Tunggu, berapa lama lagi kakiku menopang hanya untuk menunggunya membuka mulut? lupakan dan segeralah berbalik, Seraya.
"Sapu tanganmu jatuh," katanya. Yang akhirnya mengatakan tiga kata.
Kedua tanganku segera meraba kedua saku rok yang memang tidak terlalu dalam. Tidak salah lagi, itu sapu tanganku.
Aku mulai melangkah mendekat ke hadapannya dan menarik sapu tangan dari genggamannya.
"Terima kasih."Sebelum kembali berbalik, aku mengendus sedikit aroma yang kutangkap oleh indra penciumanku.
"Mind," ucapnya.
Ah sial, aku terlalu menikmati aromanya sampai lupa siapa pemiliknya.Segera aku berbalik dan mengambil langkah meninggalkannya. Di depan sana sudah ada penjaga berseragam serba hitam yang akan menutup gerbang sekolah sekitar lima menit mendatang.
Pemilik tadi adalah Yuda, aku selalu memperhatikannya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Seraya Sayu
Teen FictionKehidupanku pernah normal, jauh sebelum seorang nenek-nenek dengan tongkat hitamnya datang menghampiriku hanya untuk mengutuk. "𝘈𝘬𝘶 𝘣𝘦𝘳𝘴𝘶𝘮𝘱𝘢𝘩 𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘢𝘥𝘢 𝘱𝘦𝘯𝘥𝘢𝘮𝘱𝘪𝘯𝘨 𝘶𝘯𝘵𝘶𝘬𝘮𝘶." Memang siapa yang percaya aka...