Setelah tragedi tadi, Miko tak ada habisnya menertawakan Gian. Bahkan wajah laki-laki itu sampai memerah akibat tidak bisa menghentikan tawanya.
"Terus aja ketawa sampai dunia ini berakhir," kata Gian yang langsung menghentikan tawa Miko.
"Iya maap. Lagian kok bisa sih lo jatuh?" tanya Miko masih penasaran.
"Lo percaya gak kalau gue bilang Ana yang tendang kursinya sampai gue jatuh?"
Miko kembali tergelak sembari memukul-mukul lengan Gian. "Mana mungkin karena Ana?"
Jelas tidak akan ada yang percaya jika Gian mengatakan bahwa Ana benar-benar menendang kursi itu sampai membuatnya terguling ke lantai. Secara, jika di lihat dari mata Ana hanya gadis klemar-klemer yang kerjaannya tidur dan tidak memiliki semangat untuk hidup. Awalnya Gian juga menganggap seperti itu, tapi setelah tadi melihat bagaimana Ana menendang kursi dengan sekali tendangan saja sudah membuatnya percaya jika sebenarnya gadis itu menyimpan tenaga yang cukup besar dalam dirinya.
Melihat Gian yang hanya diam saja sembari memperhatikan Ana yang tengah tidur di bangkunya, menghantikan tawa Miko. Cowok itu menggaruk tengkuknya yang tidak gatal lalu kembali menatap Gian dengan serius.
"Serius karena Ana, Gi?"
*****
Bel berbunyi menghentikan pembelajaran di jam terakhir. Semua siswa membereskan barang-barangnya lalu memberi salam kepada guru sebelum keluar kelas. Ana masih di posisinya, menelungkupkan kepala di tumpukan tangannya.
"Na, gue balik dulu ya sama Kristal," pamit Mega yang diangguki pelan oleh Ana.
Satu persatu siswa mulai meninggalkan kelas dan hanya tersisa tiga manusia yang hobi pulang paling akhir. Di bangkunya, Gian dan Miko masih membahas tentang Ana yang ternyata memiliki tenaga yang cukup kuat.
"Gue rasa Ana diam-diam punya ilmu kuat, deh," ujar Gian asal.
"Ah, jangan ngaco lo!"
"Serius gue. Mana ada cewek yang luarnya keliatan lemah tapi ternyata punya tenaga yang kuat?"
"Si Mikaila juga punya tenaga yang kuat," ujar Miko mengingatkan bagaimana gadis itu hampir menghajar Gian dengan tubuh mungilnya.
"Itu beda, Ko, gak bisa dibandingkan. Dari jarak 10 kilometer juga lo udah bisa liat kalau Mikaila bisa jadiin lo lontong."
Percakapan Gian dan Miko terhenti ketika Ana beranjak dari bangkunya. Kedua laki-laki itu tiba-tiba ikut beranjak, mengikuti Ana keluar dari kelas. Saat Ana menghentikan langkahnya, Gian dan Miko juga berhenti tepat di belakang Ana.
Ana berbalik badan, melihat dua orang yang sejak tadi mengikutinya.
"Kalian ngikutin gue?" tanya Ana. Keduanya kompak menggelengkan kepala.
"Enggak. Jalan kita keluar kelas kan emang searah," jawab Gian sedikit gugup.
"Duluan aja kalau gitu." Ana mempersilahkan dua manusia yang terlihat kebingungan itu untuk berjalan di depannya.
"Ladies first," ujar Gian.
"Gue Ana bukan ladies."
Miko tertawa sumbang, lalu merangkul Gian melewati Ana.
"Kalau gitu kita duluan, ya, Na, lo hati-hati di jalan," pamit Miko yang terus memaksa Gian untuk berjalan.
Setelah jauh dari Ana, Miko melepaskan rangkulannya di pundak Gian. Melihat ekspresi Ana tadi membuat Miko sedikit merinding, takut jika dari matanya akan mengeluarkan percikan api yang akan membunuh mereka berdua. Terdengar berlebihan tapi raut wajah Ana memang terkadang terlihat menakutkan.
"Lo seriusan mau lanjutin misi ini, Gi?" tanya Miko ingin kembali memastikan.
"Makin dilihat Ana tuh bikin gue tambah penasaran. Jadi jiwa ini semakin meronta-ronta buat menangin misi ini."
"Setelah kejadian hari ini lo masih mau deketin Ana?"
Gian mengangguk yakin lalu tangannya terangkat merangkul pundak Miko.
"Tambahin waktu gue 1 minggu buat luluhin hati Ana. Kalau gue gagal bikin Ana suka sama gue, Ajeng langsung gue relakan buat lo," janji Gian.
"Serius lo? Entar omdo, lo."
"Serius gue. Selalu ingat slogan kita, 'never give up!''
*****
Sudah hari jum'at lagi. Entah sudah berapa kali Ana menghela napas.
"Kenapa, sih, Na dari tadi ngehela napas mulu?" tanya Elzi yang tengah memasangkan sepatu di kedua kaki Ana.
"Bisa gak sih gue gak ke sekolah dulu?" melas Ana. Ia benar-benar tidak ingin pergi ke sekolah dan menghadapi mata pelajaran olahraga.
"Gak bisa."
"Kenapa harus ada sekolah, sih? Gak bisa apa hidup itu cuma buat tidur?"
Elzi bangkit setelah memasang sepatu di kaki kembarannya itu, lalu tangannya terulur mengelus surai panjang rambut Ana.
"Hidup gak bisa dibuat tidur aja, Na. Hidup juga harus bersosialisasi, belajar, beraktifitas biar bahagia."
"Tapi gue benci bersosialisasi, El! Dengan tidur aja gue udah bahagia kok," ucap Ana kembali merebahkan tubuhnya di kasur. "Gue berharap di hidup gue selanjutnya gue tercipta jadi batu aja!" Ana menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya.
Sudah bukan hal yang mengejutkan lagi melihat Ana merengek seperti anak kecil. Karena hampir setiap hari kerjaan Ana kalau tidak tidur, ya, merengek karena paksaan Elzi yang selalu menyuruh Ana sedikit produktif di rumah.
Elzi menarik tangan Ana untuk kembali duduk. "Iya deh terserah, in another life mau jadi apa itu urusan lo sama Tuhan. Tapi dikehidupan ini lo harus tetap hidup untuk waktu yang lama dan bahagia." Elzi berjongkok, memberikan punggungnya untuk Ana naiki.
"Nanti kalau Tuhan setuju buat ciptakan gue sebagai batu, gue juga akan minta sama Tuhan buat ciptakan lo jadi batu juga. Mau gimana pun kita kembar tak terpisahkan, kan?"
Elzi terkekeh pelan, "iya. Mau kemana pun dan jadi apa pun lo nanti gue bakal tetap ikut sama lo buat rawat lo."
Ana tersenyum namun tak lama senyumnya itu memudar. Saat menuju ke meja makan, Ana melihat wanita yang sangat tidak ingin ia temui berada di rumahnya. Gadis itu meminta untuk diturunkan dari punggung kembarannya itu.
"Siapa yang suruh dia datang ke rumah?" tanya Ana menetap Elzi serius.
"Tante Jia, Na, namanya."
"Gak peduli gue! Siapa yang suruh dia datang ke sini?" ulang Ana yang sangat enggan menyebut nama wanita itu.
Elzi menghela napasnya pelan, berusaha menenangkan Ana yang sangat tidak menyukai teman perempuan Papa mereka.
"Hari ini Papa ulang tahun, Na, jadi wajar kalau Tante Jia datang ke rumah," jelas Elzi hati-hati. Jika sudah menyangkut wanita bernama Jia itu, Ana tidak bisa mengontrol amarahnya. Tidak tahu kenapa, sejak kecil Ana sangat membenci tante Jia.
"Wajar lo bilang? Harus berapa kali gue bilang kalau gue gak suka dia di sini!"
"Hari ini aja, Na, turunin ego lo."
Dengan kasar, Ana menarik tasnya dari pundak Elzi. "Selama dia masih di sini, jangan harap gue mau pulang! Dan lo, jangan berani cari gue!" Ana berlalu meninggalkan rumah tanpa pamit. Di tempatnya Elzi hanya bisa menghela napasnya sabar.
"Lohh, Ana mana, El?" tanya Pak Tama yang baru saja keluar dari dapur.
"Baru aja keluar, Pa," jawab Elzi.
"Loh? Anak itu gak mau sarapan dulu apa?"
Masih menggunakan apronnya, Pak Tama berlari keluar untuk mengejar anak perempuannya. Namun ketika sampai di gerbang, Ana sudah jalan dengan bentor langganannya.

KAMU SEDANG MEMBACA
HEARTLESS
HumorTrauma masa lalu menjadikan Ana seperti gadis yang tak berperasaan. Ia tak memiliki kemampuan bersosialisasi untuk menjalani hari seperti remaja seusianya. Ana bukannya memiliki hati yang keras, ia hanya takut orang lain akan mengetahui sisi lemahny...