Wajah gadis itu menunjukkan keresahan, sekaligus sungkan karena hendak merepotkan tetangga yang baik hati macam Yu Naroh.

"Aku ngerti, Ris. Kamu ndak usah bimbang, insya Allah aku dan tetangga yang lain akan selalu memperhatikan ibukmu." Yu Naroh menjawab perkataan Riris.

"Nanti uang bulanan untuk ibuk saya kirim ke Yu Naroh, ya? Sekali lagi maaf kalau akhirnya kami malah jadi merepotkan Yu Naroh," ujar Riris tak enak hati.

"Iya, Ris. Wes, ndak usah dipikirin. Kita ini kan tetanggaan udah lama. Udah kayak sodara sendiri. Toh nanti kita mati juga tetangga dulu yang datang melayat dan membantu," jawab Yu Naroh lagi.

Riris tersenyum. Hatinya sedikit merasa lega. Setidaknya ia dan ibunya memiliki tetangga yang baik-baik semacam Yu Naroh. Mereka kemudian bertukar nomor ponsel agar memudahkan komunikasi sebab ibunya tak bisa menggunakan benda canggih itu.

Langit berarak jingga ketika akhirnya Riris pamit pulang. Sedikit beban di pundaknya terasa terangkat, meski masih ada sesuatu yang masih mengganjal, entah apa itu.

Makan malam kali ini Riris sengaja mengajak ibunya andok (makan di tempat) di sebuah warung bakso langganan di depan gang rumah mereka.

Mas Karyo sang pemilik kedai bakso tampak kaget ketika melihat Riris dan ibunya. Sebelum bekerja di Jakarta, Riris dulu kerap membeli bakso di kedai Mas Karyo. Sudah setengah tahun lebih mereka tak bersua.

"Mbak Riris tambah uayuu ...," puji Mas Karyo sambil mesem. Riris hanya tersenyum simpul mendapat pujian dari lelaki berkumis tipis tersebut.

Dengan cekatan, Mas Karyo meracik bakso pesanan Riris dan Bu Supiah. Karena warung malam itu tidak terlalu ramai pembeli, mereka pun berbincang ringan saling bertukar cerita.

Setelah selesai makan, Riris pun berdiri hendak membayar makanannya dan ibu. Namun Mas Karyo menolak dengan alasan yang tak jelas.

"Wes lah, kali ini gratis buat Mbak Riris sama ibuk. Itung-itung ngelepas kangen sama Mbak Riris setelah lama kita nggak ketemu," ujar Mas Karyo. Duda tanpa anak itu menatap Riris sambil tersenyum malu-malu.

"Ya Allah, matur nuwun sanget, Mas. Semoga warung baksonya rame dan makin berkah, nggeh," ujar Riris, lalu pamit dan pergi bersama ibunya kembali ke rumah.

"Kayak e naksir kamu, Nduk, si Karyo itu." Celetukan ibunya saat mereka sedang berjalan menyusuri jalanan gang, membuat Riris hanya tersenyum tipis.

"Ndak tahu, Bu. Tapi mungkin itu cuma perasaan Ibuk aja kali," balas Riris sekenanya.

Biar pun tak memiliki perasaan yang sama jika seandainya Mas Karyo menyukainya, Riris tidak ingin bicara sesumbar. Bukankah terkadang manusia sering tak sadar ketika dirinya jatuh ke dalam jurang kesombongan?

Mereka tiba di rumah, melanjutkan me time berdua yang mungkin lama lagi baru bisa dinikmati oleh ibu dan anak tersebut.

"Ibuk kalau butuh apa-apa atau ada sesuatu yang penting, minta tolong sama Yu Naroh ya, hubungin Riris. Ibuk harus jujur kalau ada apa-apa harus jujur sama Riris." Riris berkata sambil memijat kedua kaki ibunya bergantian.

Mengucapkan hal itu, membuat hati Riris jadi gerimis. Seolah perpisahan sudah di depan mata, padahal masih besok malam ia berangkat. Tapi sedihnya sudah terasa sekarang.

Hal serupa juga dirasakan oleh Bu Supiah. Tiga hari terasa begitu singkat. Andai Riris tidak terikat kontrak, tentu mereka bisa terus bersama.

Istilahnya, makan nasi jagung pun tak masalah asalkan ia selalu bersama putrinya dan tidak berjauhan seperti enam bulan terakhir yang mereka lalui.

"Iya, Nduk. Kamu juga harus jaga kesehatan di sana, ya. Di dunia ini, Ibuk cuma punya kamu, Nduk. Mas mu sudah ndak usah diarep-arep," ucap Bu Supiah. Sedih hatinya mengingat sikap putra pertamanya.

"Iya, Buk. Insya Allah. Kalau Ibuk ndak kuat tinggal sendiri di sini, bilang ya, Buk. Biar Riris jemput Ibuk," balas Riris yang dijawab Bu Supiah dengan anggukan kepala pelan.

Malam ini, Riris sengaja tidur di kamar ibunya. Ingin merasakan dekapan hangat ibu seperti ketika ia masih kecil dulu. Dikeloni sampai ia benar-benar tertidur.

Tidur merapat sambil menghidu aroma tubuh ibu adalah sesuatu yang kerap Riris rasakan selama mereka tinggal berjauhan. Apalagi di awal-awal Riris bekerja di kediaman Oma Eliz. Riris sering menangis diam-diam di kala malam menjelang tidur.

Daster lusuh ibu yang sengaja ia bawa, menjadi satu-satunya pelepas rindu pada ibu tercinta.

***

Dengan diantar Santi anak Yu Naroh, Riris pergi ke toko yang khusus menjual wingko babat untuk oleh-oleh bagi Oma Eliz dan teman-teman sekerjanya di rumah itu. Mbak Sumi dan Mas Uji, sopir pribadi, juga Pak Ujang, tukang kebun di rumah Oma Eliz.

"Banyak belinya Mbak Riris," ujar Santi ketika Riris keluar lalu menggantungkan belanjaan di cantolan motor matic Santi.

"Iya, Dek. Sekalian beliin buat ibuk kamu," jawab Riris seraya tersenyum.

Mata Santi melebar seketika, seiring senyum manisnya yang juga ikut merekah. Wingko babat adalah salah satu makanan kesukaan di keluarga mereka.

Dalam perjalanan pulang, Riris mengajak Santi untuk mampir membeli es buah. Mereka makan di tempat, sekaligus membungkus untuk Bu Supiah juga Yu Naroh.

Riris juga memberi uang bensin untuk Santi. Gadis itu menolak, tapi Riris tetap memaksa. Santi takut dimarahi ibunya jika ketahuan menerima uang dari Riris.

Takut disangka berbuat baik karena ada maunya. Tapi Riris memastikan tidak akan memberi tahu Yu Naroh, dan Santi pun akhirnya menerima uang pemberian Riris tersebut.

Ba'da maghrib, Riris sudah bersiap-siap untuk berangkat ke terminal. Bu Supiah tak dapat menahan airmata kesedihan kala harus kembali berpisah dengan anak kesayangannya.

Dipeluknya erat tubuh Riris kala putrinya berpamitan. Wanita sepuh itu membisikkan doa agar Riris selalu diberikan keselamatan dan perlindungan di mana pun ia berada.

Riris mengerjap pelan sambil menengadahkan wajah ke atas agar airmatanya tidak jatuh. Sebisa mungkin ia ingin terlihat tetap tegar agar ibunya tak semakin bersedih jika ia menangis.

"Riris pamit, Buk," ucap Riris untuk yang terakhir lalu mengecup punggung tangan ibunya dalam-dalam.

Setelahnya, Riris beralih pada Yu Naroh dan Mas Tomo.

"Kulo (saya) titip ibuk nggeh, Yu ... Mas," ucap Riris sambil menahan sebak di dada.

"Iyo, Nduk. Kamu hati-hati di jalan, ya. Jangan kuatir soal ibukmu. Saya dan seluruh warga sini akan menjaga beliau untukmu," jawab Yu Naroh. Ada rasa haru melihat wajah sedih Riris dan Bu Supiah.

Keduanya harus berpisah sementara karena Riris harus berjuang demi masa depan ia dan ibunya.

Santi yang kembali mengantar Riris menuju terminal bus yang akan memberangkatkannya ke Jakarta.

***

Bersandar pada pagar teralis balkon kamarnya, Ares menatap bulan yang menggantung rendah di langit malam. Bias cahayanya yang keperakan menerangi sekitar tempat Ares berdiri.

Angin berhembus memainkan rambutnya yang rapi dan lurus, menerpa kulit lengannya yang terbuka karena ia hanya mengenakan baju kaos lengan pendek yang memamerkan bisepnya.

Tatapan mata lelaki itu kemudian beralih pada gerbang pagar setinggi dua meter yang tampak kokoh di depan sana. Gelap di luar, hanya mendapat pencahayaan dari lampu jalan yang berjejer jarang-jarang di sepanjang komplek.

Sudah tiga hari gadis itu pergi. Ingin rasanya Ares bertanya pada oma-nya kemana gerangan perginya Riris. Satu kekhawatiran dirasakan oleh pria itu. Apakah perawat neneknya itu resign dan tak akan kembali lagi?

Diam-diam, kepergian Riris ternyata menciptakan lubang hampa di dada Ares.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Oct 07, 2021 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

KE MANA HABISNYA UANG YANG KUKIRIM UNTUK IBU?Where stories live. Discover now