06. Patah Mimpi

Começar do início
                                    

"Pak, hari ini bisa nggak aku tinggalin bon buat besok? Hehe, bapak bisa catet bon ku yang pertama, aku janji besok aku bakal lunasin." Seakan tengah berikrar, kalimat terakhirnya serius dilontarkan.

Tapi si pak tua yang tengah memeras keringat demi mengais rezekinya itu terlalu kejam. "Nggak bisa. Siapa tahu besok kamu nggak naik ke bus ini lagi. Bayar sekarang atau pergi."

Si pemuda nelangsa itu nampak ketar-ketir. Bukannya merelakan, genggamannya malah kian mengerat. Seolah tak ingin melepas satu-satunya harta yang ia bawa. "Aku bisa aja bayar pakai uang ini tanpa kembalian. Tapi pak, ini uangku buat sebulan ke depan. Kalau hari ini habis cuma buat bayar bus, besok aku ke sekolah naik apa? Besok aku makan apa?" Dia merengek, mungkin nyaris putus asa. "Pak tolong, satu kali aja. Aku janji besok aku bakal naik bus ini lagi. Tolong ya pak." Kedua tangannya ditangkupkan. Memohon tanpa kenal lelah.

"Nggak. Kalau memang nggak ada ongkos, kamu bisa pergi. Kasihan orang di belakangmu ngeliatin kamu ngemis kayak gitu."

Si pemuda yang masih anonim itu menoleh. Mulutnya membulat kecil sebelum menggemakan kata maaf yang samar lirihnya. Dia menyingkir. Membuka jalan untuk Jisung.

Terlampau lamban ia bergerak, Jisung pelan mendekati kotak kaca kecil yang menampung jerih payah si supir bus. Belum banyak, hanya ada 10 uang koin dengan 5 uang kertas yang baru mengisi. Tangannya terangkat, siap menjatuhkan ongkosnya ke dalam sana. Tapi tahu-tahu hati kecilnya terketuk. Dia menoleh. Setengah ragu, pertanyaan itu mengudara.

"Hei, kamu murid Minhwa juga kan?" Diawali dengan pertanyaan konyol, Jisung menyapa.

Lawan bicaranya mengerjap sebelum kepalanya beralih membawa sebuah anggukkan kecil.

Jisung mengulas senyum tipisnya. Kali ini tanpa paksaan. Kemudian kepalanya menoleh balik ke tempat dimana si pak tua diberikan tahta. "Buat 2 orang ya pak." Lantas—klontang! 3 buah uang koin beserta satu lembar uang kertas resmi menyapa teman-temannya di dalam satu kotak yang sama. "Ayo naik." Jisung mengajak.

Si pemuda lainnya yang sedari tadi masih betah terbengong-bengong itu buru-buru menyusul. Tangannya menggapai-gapai. Berhasil meraih ujung blazer si malaikat penyelamatnya. "Ka-kamu bayar ongkosku juga?"

Jisung mengangguk.

Raut wajah yang mulanya mendung, murung bagai burung yang dipaksa tinggal di dalam sangkar selamanya itu berubah. Pancar sinar bahagianya menyapa netra. Kemudian ketika Jisung menyaksikan itu, gelenyar yang sama ikut menggelayutinya. Pemuda itu, dia tersenyum karenanya.

"Makasih, makasih banget. Kalau kamu nggak ada aku nggak bakal bisa berangkat hari ini atau malah nggak makan besok karena uangnya buat bayar bus ini." Tangannya kuat mengguncang Jisung.

Kekehan itu terlontar kecil. "Iya, sama-sama."

"Aku Choi Jeonghyun."

Belum bisa melenyapkan senyumnya, Jisung membalas. "Park Jisung."

Kemudian, hari selasa yang mulanya tak membawa arti secuil apapun, berubah menjadi hari paling bahagia yang tak pernah Jisung duga sebelumnya. Jeonghyun berujar. Mengungkap banyak kisah tentangnya. Melintasi gedung-gedung yang tingginya nyaris menyentuh langit. Didampingi suara riuh penumpang. Didukung celotehan Jeonghyun, Jisung tahu bahwa menjadi alasan bahagia seseorang itu seperti ini rasanya.

Kalau mereka bahagia karena aku, aku juga ikut bahagia. Jadi Park Jisung, ayo terus buat mereka ketawa! Terutama....Zhong Chenle.

ꗃꠂꠥ

Orang-orang itu bilang, kalau kamu berhasil memainkan peran untuk skenario hidup Zhong Chenle—walau seujung kuku—maka kamu tak punya apalagi untuk diminta. Mulanya Jisung mengira mereka terlalu membesar-besarkan sosok Chenle, si konglomerat asal China. Sebab Jisung mengerti bahwa tak ada satu pun manusia yang bisa dinyatakan lahir dalam kesempurnaan. Tapi semuanya diputarbalikkan. Tak peduli kekurangan apa yang turut menghinggapi si Zhong, Jisung tetap menyukai hatinya yang besar.

Shy Shy Jwi ✔️Onde histórias criam vida. Descubra agora