1. Broken

15 1 0
                                    

Sendiri. Ya, selama ini aku hanya sendiri. Aku bersembunyi dan menjauhi orang-orang. Aku tahu, ini sangat sulit kadang rasanya dadaku terasa sesak hanya karena iri melihat orang lain di anggap berharga.

Aku melihat langit senja yang indah. Di taman kecil ini aku terbiasa merenung, meninggikan imajinasiku dan menghibur diriku sendiri dengan merangkai sebuah cerita yang sebenarnya tidak akan bisa aku alami.

"Heh! anak sialan! Kamu masih saja disini, cepat pulang!" teriak seseorang yang aku tahu adalah ayahku. Teriakannya sampai membuat orang-orang di taman ini memperhatikan aku.

"Baik, ayah." balasku pelan. Aku berdiri menyusul di belakangnya yang sudah berjalan cukup jauh.

"Dasar anak yang tidak tahu di untung! Sudah jam segini kau masih asik-asik di taman." umpatnya tepat setelah aku masuk ke dalam mobil. Tatapannya menusuk hingga rasanya dadaku kembali sesak karena menahan tangisanku yang siap meledak.

Sepanjang perjalanan aku hanya diam. aku tahu, hari ini aku melewatkan tugasku untuk membereskan rumah karena aku harus berangkat pagi-pagi untuk piket kelas. Aku sudah siap menerima semuanya saat aku melangkahkan kakiku keluar rumah tadi pagi.

"Kamu itu harus paham! Istriku sedang mengandung anakku. Dia tidak boleh beres-beres rumah atau pun membuat makanannya sendiri!" teriak ayahku kembali dengan amarahnya. Alasan klasik yang selama beberapa bulan ini selalu aku dengar. Dia lebih perduli dengan istrinya daripada aku yang juga anak kandungnya.

"Aku harus sekolah, dan pekerjaan rumah bisa panggil seseorang untuk membereskannya ayah." balasku sedikit membela.

"Jangan panggil aku ayah! Karena dari awal kamu lahir aku tidak menganggapmu anak, dan apa katamu? Menyuruh seseorang untuk membereskannya? Selama ada kamu kenapa aku harus mengeluarkan uang untuk membereskan rumah? dan ingat! Kamu itu sekolah pakai uang dari hasil aku bekerja." jelasnya sambil membentakku. Aku kembali diam, karena aku tidak ingin mendengar kata-katanya yang menyakitkan lagi.

Aku kira dengan aku diam akan membuat semuanya tenang, kukira itu hal yang bisa menyelamatkanku. Tetapi, Itu salah besar. Sesampainya di rumah, ibu tiriku sudah berada di depan pintu rumah dengan menyilangkan tangannya di atas perut.

"Kamu bodoh atau kelewat dungu?" teriaknya sambil menamparku.

Aku menunduk, tamparannya terasa panas di pipiku. Aku hanya bisa mendengarkan kata-katanya yang akan menyerangku tanpa ampun. Aku tidak bisa membela diriku sendiri, aku tidak bisa melawan atau pun mencari keadilan untuk diriku.

"Kamu memang harus diberi pelajaran agar jera!" sambungnya sambil menjambak rambutku.

"Ah! Tolong lepaskan, maafkan aku!" teriakku sambil memegangi rambutku yang tetap ia jambak dan menyeretku sampai ke dapur. Dia melepaskanku sambil mendorongku hingga tersungkur. "kamu lihat? Itu cucian piring, cucian baju dan rumah ini belum kamu bersihkan sama sekali!"

Aku mencoba bangun, mengangguk dan meninggalkan ibu tiriku yang menatap jijik kepadaku. Sekali lagi aku mengira semua akan berakhir dengan mudah jika aku pergi dari hadapannya dan segera melakukan apa yang ia suruh, tapi lagi-lagi aku di jambak olehnya. Dengan geram dia mengambil kacamataku dan melemparnya hingga kacanya pecah.

"Sepertinya jika aku belum melihat kau menderita rasanya tidak akan lega. Sekali lagi kau melewatkan pekerjaanmu aku pastikan, bukan hanya kacamatamu saja yang rusak!" Ucapnya sambil mengancam dan mendorongku kembali.

Mau sebanyak apa aku bertahan dengan kehidupan seperti ini, aku tahu akan jatuh sesering mungkin. Dengan merasa kehidupanku layaknya drama yang sudah aku rasakan sejak ibuku meninggal dua tahun yang lalu.

Switched a LiveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang