“When a letter becomes the beginning of a farewell.”
*****
"Gue bisa bantu lo ketemu dia. Cuma itu yang gue bisa."
Dan di sinilah, Letta berada. Di tempat dimana Natha janjikan, menjawab semua pertanyaan di kepalanya. Hingga suara langkah kaki yang mendekat berhasil membuat atensi Letta teralih, melihat dua laki-laki menjulang berjalan ke arahnya.
"Sorry, jalannya agak macet," kata Natha terkekeh berusaha mencairkan suasana.
Letta balas menggumam, melirik seseorang yang dibawa Natha.
Natha berdeham pelan. "Jadi—"
"Bisa gue mulai duluan?" Letta menyela. Mendapat anggukkan kepala Natha, Letta menghela napas panjang sebelum bicara. Menjelaskan kronologi bagaimana dia bertukar surat dengan seseorang yang ditemuinya dulu, tanpa mengetahui namanya. "Dan gue ingat, kalau orang yang balas surat gue itu cewek bukan cowok," tandas Letta menutup penjelasannya.
Lawan bicaranya mengangguk, membenarkan. "Gue tahu, bukan gue yang lo temui dulu." Sebelum hari ini datang, sepupunya itu menjelaskan secara rinci semuanya, tentang siapa yang mengirim surat-surat itu tanpa henti, setelah bertahun-tahun lamanya. "Tapi, Kakak gue."
Letta mengerjapkan mata, tak menyangka sosok yang dicarinya berhubungan dekat dengan orang di sekitarnya. "Kakak lo?" ulang Letta.
Devian mengangguk, lagi. "Dia sering nulis surat, apalagi selama di rumah sakit."
Letta dibuat membisu. Benar jika anak perempuan yang dulu ditemuinya pertama kali adalah di rumah sakit. "Kalau gitu, kenapa dia nggak balas surat gue setahun? Tapi malah lo yang balas? Apa dia gak suka gue kirim surat terus? Karena gue?" cecar Letta bertubi-tubi.
Mereka sempat hilang komunikasi–tepatnya, tidak ada balasan dari sosok itu–sekitar satu tahun. Tak lama, kira-kira dua tahun lalu barulah ada balasan, tapi bukan dari dia melainkan Devian yang mengaku sebagai adiknya.
Hening. Tidak ada jawaban dari keduanya, baik Devian maupun Natha.
"Dia ke mana? Kenapa dia nggak ikut? Kenapa cuma kalian yang datang?" Letta bertanya kembali. Kepalanya berotasi memperhatikan sekeliling, berharap sosok itu menampakkan diri. Apa mungkin dia sibuk, ya? pikirnya dalam hati. Mengingat jika–kalau tidak salah, karena mereka bertaut dua tahun–sosok itu tengah menduduki jenjang Perguruan Tinggi sekarang.
"Mau gue antar ketemu dia?" Suara Devian memecah keheningan.
Letta menoleh, mengangguk-anggukkan kepala semangat. Lalu beranjak mengekor langkah lebar Devian. "Oh, iya, siapa nama Kakak lo?"
Untuk beberapa saat, Devian bergeming. "Shabina," lirihnya.
Letta manggut-manggut. "Kak Shabina," ucap Letta mengulang bersamaan dengan senyum yang terukir lebar.
Dari tempatnya, samar Natha mampu mendengar percakapan Letta dan Devian yang tampak mustahil terjadi. Seolah-olah tidak pernah ada permusuhan di antara mereka berdua. Perlahan dia bangkit berdiri mengikuti mereka yang sudah tak terlihat.
*****
Gadis dengan gaun beberapa senti di bawah lutut berwarna pink pastel itu tergugu. Terlihat mencolok di tempatnya berada kini. Letta sengaja berdandan untuk bertemu dia, tapi bukan ini yang Letta inginkan. Iris matanya menatap hampa gundukan tanah dengan nama yang baru diketahuinya, Shabina. Sosok yang ditemuinya dahulu. Sosok yang menjadi alasannya tetap hidup demi Mamanya.

KAMU SEDANG MEMBACA
See You, Letter [COMPLETED]
Teen FictionArandea Letta, namanya. Gadis cantik yang menjadi pusat perhatian sejak pertama kali menginjakkan kaki di sekolah barunya, setelah berani menentang salah satu panitia MOS. Gadis yang dengan lantang menyerukan pikirannya di antara banyak pasang mata...