"Ih apaan sih!" seru Pat yang kemudian ingin balas dendam mengacak rambut Darien, tapi dia menghindar dan Pat pun langsung mengejarnya yang lari dengan cepat. "Tunggu!"

Sepanjang perjalanan menaiki motor berdua, Pat dan Darien terus saja mengobrol. Mereka sudah seperti teman akrab. Tentu saja, harapan Darien adalah untuk melihat permainan Pat yang mengagumkan lagi di pertandingan final besok. Pat menerima tantangan Darien lagi. Ia yakin akan membawa timnya menang.

***

Saat makan malam bersama ibunya, Pat tampak diam dan memilih untuk makan dengan cepat agar bisa serera menuju ke kamarnya. Pat kurang suka suasana di saat ia harus berhadapan dengan ibunya. Pandangan Pat ke arah ibunya sudah banyak berubah. Entah karena ia sering ditinggal sendiri atau karena omongan orang-orang di luar sana. Walaupun Pat seakan mengindari obrolan, ibu Pat sepertinya sedang mempersiapkan diri untuk mengatakan sesuatu.

"Kamu yakin ingin masuk Universitas Renjana, Sayang?" tanya Nikita yang berhenti makan.

"Sudah aku bilang berapa kali, ya?" tanya Pat dengan malas.

"Mama baru lihat kalau perguruan tinggi itu mahal, masih banyak yang berkualitas tapi biayanya lebih murah," jelas Nikita yang memandang anaknya seakan menginginkan anaknya mengerti.

"Mama sudah menyanggupi itu, kan? Sekarang apa masalahnya?" tanya Pat yang menyipitkan matanya dan memandang ibunya dengan kesal.

Nikita mengembuskan napas panjang. "Mama nggak yakin bisa terus bertahan biayai kamu kalau di sana," jawab Nikita yang ingin memberikan pengertian.

"Mama kan bisa usaha," kata Pat yang kembali melanjutkan makan.

"Kalau mau Mama usaha, Pat juga harus usaha buat Mama," ujar Nikita.

"Apa? Pat harus usaha apa lagi?" tanya Pat yang menahan dirinya untuk tidak marah. "Bukannya tugasku cuma belajar? Terus rumah ini memangnya siapa yang bersihin kalau Mama, nggak ada?"

"Usaha buat Mama merasa bangga," jawab Nikita.

Pat memiringkan kepalanya dengan mulut agak terbuka. Selama ini ibunya tak bangga padanya? Pat tak bisa mengerti lagi.

"Mama pengin kamu dapat pacar sebelum ulang tahun kamu yang ke tujuh belas, kalau nggak bisa, Mama nggak akan izinin kamu kuliah di universitas itu," tantang Nikita yang membuat anaknya mendongkak kaget.

"Apa Mama bilang? Pat harus dapat pacar?" tanya Pat yang masih tidak yakin ibunya melakukan itu.

"Kamu suka dengan tantangan, Mama hanya memberikan tantangan buatmu. Kenapa kamu sewot?" ujar Nikita yang sekarang merasa menang dari anaknya.

Pat berdiri. "Pat nggak mau pacaran! Pat nggak bisa terima tantangan Mama!" seru Pat yang tak bisa lagi menahan dirinya.

"Oke tidak masalah. Tapi jangan harap kamu bisa kuliah di universitas itu," ucap Nikita yang memandang wajah anaknya yang tampak geram itu.

"Mama egois!" pekik Pat yang kemudian pergi ke kamarnya.

***

Saat kecil, Pat tinggal di rumah yang lebih sederhana dari rumahnya yang sekarang. Sebelum menjadi perias pengantin seperti sekarang, dulu ibunya bekerja di salon kecantikan. Walau ibunya adalah orang yang modis, Pat sungguh berbeda. Ia tidak suka dandan dan tidak peduli dengan mode. Karena waktu kecil, Pat lebih suka bermain dengan sahabat lelakinya—orang yang sekarang sangat ia rindukan. Ia juga lebih suka bermain di luar rumah bersama teman-temannya daripada bermain boneka di rumah. Dari dulu, Pat memang tak begitu menyukai sesuatu yang terlalu feminim.

Ibunya tidak memaksanya untuk selalu feminim. Justru dia mendukung apa yang disukai Pat. Pat sering mendapat tantangan dari ibunya. Jika Pat ingin main di luar, ia harus menyelesaikan soal matematika, membersihkan rumah sambil menghafal lagu-lagu kebangsaan, atau disuruh untuk membuang sampah dengan cepat. Tantangan dari ibunya selalu menarik, Pat menyukai tantangan-tantangan itu.

Lotta Love 「END」Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang