Chapter 5

91.6K 9.3K 384
                                    

Selamat membaca 😁

Bintang terus mengutuk dirinya dalam hati karena telah mengatakan sesuatu yang justru mempermalukan dirinya sendiri. Sekarang bagaimana ia bisa bertemu dengan Rian setelah kejadian itu? Apa ia masih memiliki wajah untuk berhadapan dengan Rian? Bagaimana jika sekarang pria itu berpikiran yang tidak-tidak tentang dirinya?

Arghh!!! Bintang memekik dalam hati karena benar-benar menyesali mulut bodohnya tersebut. Bahkan karena kecerobohannya itu, dia sampai tidak bisa berkonsentrasi saat berada dalam kelas karena terus memikirkan Rian.

Karena merasa malu, setelah kejadian hari itu Bintang selalu menghindar setiap kali berpapasan dengan Rian. Sedangkan Rian yang menyadari hal itu berniat untuk berbicara dengan Bintang dan menanyakan tentang penyebab yang membuat Bintang menghindarinya. Tetapi Rian tidak memiliki kesempatan untuk menanyakan apa yang sebenarnya terjadi. Karena setiap kali bertemu, Bintang pasti akan memutar arah dan cepat-cepat pergi saat melihatnya.

Karena tidak memiliki pilihan lain, akhirnya Rian memutuskan untuk menghampiri Bintang secara langsung yang saat itu tengah berada di kantin bersama dengan Nia.

"Bintang." Tubuh Bintang seketika menegang saat mendengar suara Rian yang memanggilnya.

"Bisa kita bicara sebentar? Ada sesuatu hal yang ingin saya tanyakan dengan kamu," ujar Rian tenang.

"Emm ... saya ...." Bintang tampak ragu dan kesulitan menjawab.

"Hanya sebentar," ujar Rian dengan nada suara halus.

"Lo ngapain malah lihat gue? Udah sana pergi, jangan bikin Pak Rian nunggu," pungkas Nia enteng tanpa dosa.

Bintang melotot tajam ke arah Nia yang justru tidak mengerti posisinya. Tetapi karena merasa tidak enak dengan Rian yang sampai menghampirinya secara pribadi, Bintang akhirnya mengikuti pria itu.

"Kamu sengaja menghindari saya?" tanya Rian tenang setelah masuk ke dalam ruangannya.

Bintang hanya diam dan menunduk karena tidak berani mengatakan alasannya kepada Rian.

"Apa saya sudah melakukan kesalahan? Kalau ada perkataan saya yang sebelumya membuat kamu terluka, saya minta maaf," tutur Rian tulus.

Bintang tersentak saat Rian justru meminta maaf kepada dirinya atas kesalahan yang tidak pernah dia lakukan. "Pak Rian nggak perlu minta maaf. Lagipula Bapak juga nggak salah apa-apa."

"Kalau begitu, kenapa kamu menghindari saya?"

"Emm ...."

"Apa karena kalimat yang pernah kamu ucapkan waktu itu?" tanya Rian memastikan.

"Kalau memang karena itu, kamu nggak perlu khawatir. Saya juga nggak mempermasalahkan hal itu. Lagipula saya mengerti kalau kamu hanya bercanda, jadi kamu nggak usah malu," jelasnya.

"Kita sudah lama saling mengenal, dan kamu juga sudah tau saya orangnya seperti apa. Begitupula sebaliknya, saya juga sudah paham dengan sifat kamu. Jadi kalau hanya masalah candaan seperti itu, saya nggak mungkin tersinggung."

Bintang menatap Rian sayu "Maaf, Pak. Saya sudah lancang dengan Bapak," tuturnya menyesal.

"Sudah, jangan dipikirkan lagi. Saya benar-benar nggak masalah dengan hal itu, jadi jangan merasa terbebani. Karena kamu sudah saya anggap seperti adik saya sendiri," ujar Rian tersenyum hangat.

Bintang tertegun. Hatinya berdenyut nyeri saat Rian hanya menganggapnya sebagai seorang adik.

"Sekarang kamu bisa melanjutkan makan siang kamu lagi, maaf sudah menganggu waktu kamu," kata Rian dengan nada suara halus.

Bintang berusaha memaksakan senyumnya. Dia kemudian mengangguk dan beranjak pergi dari ruangan Rian.

Setelah keluar dari ruangan itu, raut wajah Bintang terlihat lesu dan letih karena perkataan Rian terus terngiang-ngiang di pikirannya. Bahkan ketika dia berpapasan dengan Pandu, Bintang sama sekali tidak terlihat takut. Dia justru tetap berjalan sembari melamun dan tidak mencoba kabur seperti biasanya saat bertemu dengan Pandu.

"Ada apa dengan wajah kamu?" tukas Pandu datar saat mendapati wajah Bintang yang tampak kusut.

"Saya tidak bertenaga untuk bertengkar dengan Bapak," ujar Bintang lemas dan melewati Pandu begitu saja dengan raut wajah seperti seseorang yang tidak bernyawa.

Pandu menaikkan alis sebelah saat melihat tingkah Bintang yang aneh. Dia kemudian menahan tangan Bintang, tetapi Bintang langsung menghempaskan tangan Pandu tanpa merasa berdosa karena telah mengabaikan dosennya sendiri.

*****

Hari-hari berikutnya setelah Rian mengatakan jika dia hanya menganggap Bintang sebagai adiknya, Bintang seperti kehilangan semangat di dalam hidupnya. Bahkan wanita itu berubah menjadi murung dan suram. Ditambah lagi, hatinya semakin remuk redam saat mendengar kabar jika Rian ternyata selama ini telah memiliki seorang kekasih dan berencana untuk menikah dengan wanita itu dalam waktu dekat ini. Sempurna sudah rasa sakit yang di deritanya.

"Udahlah, ikhlasin aja. Masih banyak ikan di laut," ujar Nia enteng saat melihat Bintang yang menenggelamkan wajah di atas meja karena galau dengan kabar pernikahan Rian.

Bintang hanya diam dan tidak menjawab Nia sampai akhirnya dosen datang.

Karena Bintang tidak mendengarkan dan memperhatikan dosen yang tengah memberikan materi, akhirnya Bintang disuruh keluar dan tidak boleh mengikuti kelas dosen tersebut. Alih-alih keberatan, Bintang justru merasa senang saat disuruh keluar oleh dosen. Dia bahkan pergi ke kantin dan sempat-sempatnya memesan beberapa cemilan di saat dirinya masih berada dalam kegalauan.

Tetapi beberapa saat kemudian, Bintang tiba-tiba terlihat sedih saat mengingat kembali kabar pernikahan Rian. Bahkan, makanan manis kesukaannya tak mampu menghilangkan duka lara yang bersemayam di hatinya saat ini.

Lalu dia kembali menenggelamkan wajah di atas meja untuk melupakan tentang kabar buruk itu. Tidak lama kemudian, Bintang menengadah saat mendengar suara kursi yang ditarik oleh seseorang. "Pak Pandu? Kenapa Bapak di sini?" tanya Bintang heran saat mendapati Pandu duduk di kursi yang berada di depannya.

"Kelas saya sudah selesai," sahutnya singkat.

Pandu kemudian meletakkan sebotol minuman yogurt di atas meja depan Bintang. "Minum dulu," ujarnya ringan.

Bintang menatap Pandu sejenak sebelum akhirnya mengambil minuman itu dan membukanya. "Terima kasih."

"Kamu kenapa bisa di sini? Kelas kamu belum selesai, kan?" tukas Pandu datar.

"Saya disuruh keluar karena tidak mendengarkan saat di kelas, makanya saya pergi ke sini," jawab Bintang dengan nada suara lemas.

"Tidak biasanya kamu seperti itu. Akhir-akhir ini saya perhatikan kamu juga jadi lebih sering melamun dan tidak memperhatikan. Jadi tidak heran kalau kamu disuruh keluar," pungkas Pandu sarkas.

"Saya rasa semua orang akan menjadi seperti saya saat mereka sedang patah hati," jawab Bintang.

"Sulit dipercaya orang seperti kamu bisa merasakan patah hati," desis Pandu datar.

"Saya kan juga manusia, Pak. Saya punya perasaan. Apalagi hati perempuan lemah dan mudah rapuh," curhat Bintang.

"Jadi ada laki-laki yang kamu sukai?"

Bintang mengangguk lesu.

"Orang yang saya kenal?"

Bintang kembali mengangguk.

Raut wajah Pandu seketika berubah dingin. "Siapa?" tukasnya dengan nada suara yang sulit dijelaskan.

"Pak Rian," jawab Bintang dengan nada suara lemah.

Pandu tertegun. Pria itu tidak bisa lagi mempertahankan wajah datarnya setelah mendengar jawaban Bintang yang membuat dadanya terasa sesak.

TBC.

My Beloved Husband ✓ [ TERSEDIA VERSI PDF ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang