Bab 4 Cahaya Kelabu

ابدأ من البداية
                                    

"Maaf, Ri. Aku tidak akan datang ke sekolah besok. Sekolahku cukup sampai hari ini." Jayyida menunduk. Ia tak bisa membalas tatapan temannya.

Sari mengerutkan dahinya, tak mengerti. "Jangan becanda, lah, Ay. Keterlaluan banget, kamu. belajar sama aku gimana caranya ngelawak. Ini bukan candaan," sahut Sari dengan senyum kaku di bibirnya. Ia bingung harus tertawa atau bersedih dengan kalimat Jayyida. Ia tak tahu harus bagaimana memasang mimik wajahnya.

"Aku serius," jawab Jayyida. "Terima kasih sudah menjadi teman baikku." Jayyida memasang senyum tegar di wajahnya. Dihapusnya si air mata untuk menunjukkan bahwa ia baik dan semua baik-baik saja. Kalimat salam perpisahan diungkapkannya dengan perlahan agar tak menyakiti hatinya. Meski begitu, ia tak mampu mengungkap alasannya.

Dibalik tembok gerbang, Syafi meguping pembicaraan Jayyida dan Sari. "Kemarin ngomong panjang lebar, eh, ternyata dia mau keluar juga dari sini. Tapi, kenapa omongannya jadi ganggu, sih." Syafi menggaruk kepalanya. Terngiang lagi bagaimana kalimat Jayyida di tempat ini padanya. "Apa dia lagi ceramahin gue? Tapi kenapa dia juga berhenti sekolah? Mencurigakan."

Ingin ia melangkah menghampiri Jayyida dan Sari, namun ia sadar bahwa keadaan sedang tidak memungkinkan. Akhirnya, ia memilih pergi dari tempat persembunyiannya. Seperti perasan jeruk dalam secuil luka, pedih muncul seketika di hatinya mendengar Jayyida memutuskan berhenti datang ke sekolah. "Ada apa dengan Jayyida?"

***

"Aku enggak nyangka kamu berani datang ke rumahku pagi sekali?" tanya Jayyida saat ia turun dari boncengan Sari.

"Kenapa memangnya? Rumahmu bukan sarang penyihir, kan?" timpal Sari. "Jadi ngapain harus takut."

"Tetangga pada takut sama Bapakku, lho." Senyum menghiasi paginya hari ini melihat sikap berani dan cueknya seorang Sari.

"Bapakmu juga manusia, Ay," cetus Sari cuek. "Udahlah, enggak usah dibahas. Yang penting kamu bisa ke sekolah hari ini. Yuk." Sari meletakkan sikutnya di bahu Jayyida. Bossy ala Sari.

"Terima kasih." Binar dan haru terpancar di mata Jayyida. Ia tidak bisa mengekspresikan kebahagiaannya hari ini. Sari rela datang ke rumahnya pagi sekali. Ia acungkan jempol untuk keberanian Sari. Gadis itu meminta izin kepada Bapak agar diizinkan ke sekolah hari ini.

Acara pembukaan Class Meeting atau perlombaan antar kelas. Acara pembukaan lomba semester ini spesial karena dibuka oleh Ketua Yayasan sekaligus Pembina Utama Yayasan Pendidikan Islam Fatihah, tempat Jayyida sekolah. Kehadiran Kiai Arsyad Muhammad selalu menyihir para hadirin pendengar wejangan dan nasihat-nasihatnya yang sarat ilmu. Sebuah kesempatan yang tidak boleh dilewatkan karena Pak Kiai tidak selalu bisa hadir di sekolah, hanya setahun sekali.

"Hari ini ada Kiai Arsyad. Kamu harus melihatnya sebelum benar-benar pergi," ucap Sari. "So, nikmati hari ini dengan baik. Oke?"

Jayyida menganggukkan kepala dengan senyum penuh semangat. Ia berjanji pada diri sendiri bahwa hari ini ia tak akan memikirkan apapun. Sari dan Jayyida berlarian meninggalkan tempat parker sepeda dengan ceria.

"Kita harus duduk paling depan, Ay. Biar kecipratan kharisma Pak Kiai," kata Sari sambil berlari. Ia mengajak Jayyida untuk berebut kursi duduk agar bisa leluasa melihat Pak Kiai. Jayyida hanya bisa menanggapinya dengan tawa kecil. Itulah sari dengan keinginan tak terduga.

***

"Uthlubul 'ilmi faridhotun 'ala kulli muslimin. Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim," ucap Kiai Arsyad. Ia terdiam dan menatap ruangan aula yang dipenuhi oleh para siswa, guru dan hampir semua petugas sekolah. "Kenapa begitu? Banyak keutamaan ilmu di dalamnya. Pertama, orang berilmu itu Allah angkat derajatnya. Kedua, orang berilmu takut kepada Allah. Orang berilmu akan takut melakukan hal-hal yang mengandung dosa karena ia memiliki pengetahuan akan kekuasaan dan juga kebesaran Allah SWT." Kiai Arsyad menjelaskan dengan tenang dan tutur kata yang lembut agar para pelajar memahaminya.

Jayyida menyimak nasihat dan tausyiah dengan seksama di bangku belakang. Hatinya berdegup, berdesir penuh semangat. Apa yang disampaikan Pak Kiai menyentuh hatinya. Saat ini ia benar-benar melupakan masalah rumah.

"Ketiga, orang berilmu akan diberi kebaikan dunia akhirat. Allah anugerahi hikmah, yaitu pemahaman Al-Qur'an dan Sunnah. Dan hanya orang-orang berakallah yang menerima firman Allah." Kiai Arsyad melanjutkan ceramahnya. "Selanjutnya, Allah akan mudahkan jalan, ke surga. Kemudian, pahala orang berilmu itu Allah kekalkan. Ini janji Allah yang tercantum dalam Al-Qur'an. Belajar. Sekolah. Itu tugas anak-anak." Ditatapnya lagi para siswa yang masih menyimaknya dengan baik.

"Yu'til Hikmata mai yashaaa' ......" Kiai Arsyad menghentikan ayat yang dibacanya. Kemabali kedua matanya mengawasi anak-anak sekolah di hadapannya. "Ada yang bisa melanjutkan?" Beliau mengangkat tanganya. Silakan angkat tangan."

Suasana hening. Bermacam reaksi para siswa, ada yang menghela napas, bahkan menahannya. Ada siswa yang saling tunjuk dan lirik. Enam puluh detik lebih masih tidak ada yang melanjutkan ayat Al-Qur'an itu. Tak lama kemudian sebuan tangan terangkat.

"Alhamdulillah. Akhirnya ada juga yang mengangkat tangan," ucap Pak Kiai. "Silakan."


Bersambung...


Waaah, kira-kira siapa ya yang mengangkat tangan?

Main tebak-tebakkan, yuk

Tentang Jayyidaحيث تعيش القصص. اكتشف الآن