🐙🐙🐙
Kelas sudah kosong. Jam dilirik, masih pukul lima kurang sembilan belas menit. Kemana semua orang pergi? Apakah latihan sudah selesai?
Melihat kursi dan bangku yang masih berantakan membuat Lyn mengerutkan kening. Apa mereka sengaja membuatnya membereskan sendiri? Teman sekelas apa yang dimilikinya ini? Kehidupan damai sekolah sepertinya hanya angan saja. Hari pertama masuk saja sudah diperlakukan macam begini.
Dengan kesal dan tak seberapa ikhlas Lyn beresberes ruang kelas.
"Hey, Nak! Masih belum pulang? Bapak mau mengunci ruang kelas!" Penjaga sekolah datang menghampiri Lyn.
"Sebentar, Pak. Saya masih harus membereskan ini dulu," jawab Lyn.
"Baiklah, cepat!"
Lyn mengangguk. Penjaga sekolah pergi untuk mengunci ruangan lain dulu.
***
Headphone dipasang, musik dinyalakan, ponsel kembali dimasukkan ke dalam tas. Lyn bersiap mengendarai sepeda meninggalkan sekolah. Tempat tinggal sang Nenek tak terlalu jauh, hanya membutuhkan lima belas menit untuk sampai ke rumah dengan sepeda.
"Aaahhh!" teriak Lyn terkejut karena headphonenya sengaja dilepas dan akhirnya menggantung di leher.
"Kau tak akan mendengar klakson jika berkendara sambil mendengarkan musik!"
Lagi, Lyn tak bisa marah pada pria di depannya ini. Entah kenapa. Entah karena malu telah melakukan kesalahan, atau karena orang ini terlalu tampan. Karena menurut teori Lyn, Tuhan tidak menciptakan keindahan untuk dicaci maki. Bukan berarti orang jelek layak dicaci, karena bagi Lyn pun tak ada rupa yang jelek. Keindahan yang dia sebutkan itu relatif, subjektif pada sudut pandangnya saja. Contohnya, bagi sebagian orang laut itu indah, tapi ada juga orang yang melihat laut itu menyeramkan. Itu karena sudut pandang yang berbeda.
Apa pun itu, kemarahan karena dijahili teman sekelas menguap begitu saja menjadi udara berwarna merah jambu setelah melihat pria yang baru saja menegur.
Seperti sebelumnya, pria itu akan pergi setelah bicara. Dengan cepat Lyn mengeluarkan ponsel dan mengambil tangkapan layar halaman muka ponselnya. Tentu saja untuk mengabadikan waktu pertemuan kedua mereka barusan.
***
Rumah yang sekarang ditempati memang tak seluas rumah sebelumnya. Tapi setidaknya lebih damai. Kamar Lyn menghadap langsung ke halaman rumah yang luas nan asri. Dia diberi ruangan terbaik di rumah.
Beberapa orang termasuk neneknya mungkin memiliki rasa kasihan untuk Lyn. Dan tak sedikit orang yang berpikir bahwa Lyn pasti sangat sedih dengan semua hal yang terjadi. Karena itu Nenek dan tetangga memperlakukannya dengan sangat baik meskipun mata mereka menunjukkan jejak kasihan yang jelas.
Mereka salah, Lyn jelas tak sesedih yang mereka pikir. Dia memang terluka dengan semua yang terjadi. Awalnya sangat menyakitkan, tapi setelah sekian lama hidup dalam pengabaian semua orang, dia menjadi terbiasa. Harapan terakhirnya untuk keluarganya pun sudah hilang di saat orangtuanya bercerai. Dibilang mati rasa, jelas tidak. Hanya saja dia sudah berdamai dengan takdir.
Lyn ingin hidup bahagia tanpa mengingat masa lalu menyedihkan. Meski dia selalu bersikap dingin di depan banyak orang. Tapi jika dia menemukan hal yang dia suka sikapnya akan langsung berubah aktif, mata dingin yang selalu ditunjukkan akan berubah berbinar. Jauh dari perkiraan orang yang berpikir dia akan jadi pemurung, pendiam.
Senyum di wajah tak hilang, sesekali pandangan tertuju pada halaman.
Pena terus menari di atas buku harian. Detail pertemuan, Lyn urai, mengunci kenangan di dalam tulisan.

YOU ARE READING
Gurita Merah Jambu
Teen FictionTak berhenti menulis untuk mengguritakan mimpi. ~Salam Tinta dari Gurita Merah Jambu~