33

702 106 15
                                    

Senin, 16:00 WIB
At Rumah Sakit

Langkah kaki Suga terus berlarian dengan pikiran yang berkecamuk

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Langkah kaki Suga terus berlarian dengan pikiran yang berkecamuk. Tujuannya adalah Asya, otaknya pun dipenuhi dengan cewek itu. Dirinya berhenti saat melihat sosok yang tengah merunduk di kursi tunggu. 

"Gimana kondisi Niki? Bunda mana? Lu gak ada yang luka, kan?"

Pertanyaan Suga diabaikan oleh Asya. Cewek itu hanya mampu memeluk Suga yang barusaja selesai berlari. Asya sudah enggak sanggup menjawab, dia hanya ingin menangis sekarang. Tapi entah apa yang menahannya. Dadanya sudah sangat sesak, namun sebutir pun air matanya tidak mau ke luar. "Gak usah ditahan, keluarin aja semuanya."

Seakan mengerti, Suga meminta Asya agar melepaskan semua yang telah membuat cewek itu seolah terpasung

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Seakan mengerti, Suga meminta Asya agar melepaskan semua yang telah membuat cewek itu seolah terpasung. Dalam hitungan detik air mata Asya mengalir sangat deras seolah patuh pada ucapan Suga. 

Ini pertama kali Asya menunjukkan sisi lemahnya di hadapan Suga. Merengek layaknya anak kecil yang dilarang sang ibu memakan sebatang permen. "Udahan? Lega?" tanya Suga saat tangis Asya mulai mereda, tanpa berhenti membelai kepala Asya yang masih memeluknya erat.

"Lu tenang aja, Niki pasti bakal baik-baik aja," lanjut Suga berusaha menenangkan. Namun tetap saja, sebuah kata enggak semudah yang didengarkan.

Asya melepas pelukannya dan menyandarkan kepalanya pada pundak Suga tanpa merespon obrolon sang pacar. Pandangannya kosong menatap lantai, tapi pikiran cewek itu semrawut, berbenturan antara satu dengan yang lain.

"Adek..." panggil bunda dari kejauhan.

"Bunda..." saut Asya mendramatisir. Cewek itu memeluk sang bunda, dengan Suga yang ikut berdiri di samping Asya dan memberi salam hormat pada nyonya Gumelar.

Tanpa membuang waktu, Bunda diajak duduk oleh Asya yang siap mendengarkan cerita yang didapatkannya dari dokter mengenai sang kakak. Kata bunda, Niki sudah selesai ditangani oleh tenaga medis, namun anak sulung itu masih belum sadarkan diri. Beliau juga menyampaikan bahwa ayah belum bisa pulang ke Jakarta hari ini karena terkendala jadwal penerbangan.

"Adek pulang dulu aja, mandi terus makan, habis isya datang lagi ke sini. Tolong bawain barang-barang, nanti Adek Bunda telepon apa aja yang harus dibawa, Oke?" titah bunda membelai sang anak. "Nak Abi, Bunda titip Adek, ya," lanjut bunda berpesan pada sosok adam yang dipercayainya untuk menjaga si bungsu. "Nanti kalau Mba Niki udah sadar langsung Bunda kabari."

Asya menuruti segala yang bunda ucapkan. Dia pulang diantar oleh Suga yang sejak di perjalanan enggak banyak membuka kata. Cowok itu hanya memperhatikan Asya dalam diam, tanpa ada niat mencairkan suasana. Hingga mereka sampai rumah dalam kondisi Asya tertidur di mobil, saking minimnya topik pembicaraan. "Sya, udah sampe..." ucap Suga membangunkan sang pacar.

Sesampainya mereka di dalam rumah pun enggak banyak interkasi yang terjalin di antara keduanya. Asya sibuk menyalakan lampu, memindahkan gelas-gelas kotor di meja tamu ke dapur, dan berniat membereskan halaman yang terpaksa ditinggal dalam kondisi berantakan. Bahkan bercak darah kering yang terpapar matahari barat masih nyata membekas di lantai dan rerumputan.

"Gak usah, gua aja yang beresin. Lu langsung mandi aja, baju Lu udah bau amis." Cegah Suga mengambil selang dari tangan Asya. "Cukup Gua aja yang gila dan trauma segala macem, Lu jangan. Kalo dua-duanya gila nanti siapa yang mau ngobatin," lanjut Suga menjawil hidung Asya gemas.

"Emang kamu punya trauma apa?" tanya Asya sedikit merespon Suga yang sepertinya tengah berusaha agar sang pacar enggak terlalu muram.

"Apa ya? Punya gak sih? Lupa dah gua. Soalnya banyak senengnya kalo sama lu." Cowok itu mendekatkan wajahnya sejajar dengan wajah Asya. Menatap orang yang ia kasihi lamat. Tersenyum dan menepuk lembut kepala sang pacar.

"Terima kasih." Satu ungkapan bersyukur Asya yang sudah memilih keputusan tepat untuk meminta Suga menghampirinya hari ini.

"Kembali kasih, Bianca Asyafarah Gumelar Si sayangnya Ji Chang Wook, tapi sorry aja nih ya Wook, Asyanya sayang Abrisam Suga Pratama." Ucap Suga membuat Asya tertawa dengan penuturan yang begitu menggelikan.

"Ishh jijik banget. Yaudah, tolong bantuannya, ya? Aku mandi dulu." Suga mengangguk sebagai jawaban. Cowok itu mulai menyiram noda merah di halaman setelah Asya menghilang dari balik pintu. Walaupun dirinya enggak tahu pasti letak penataan segala tanaman hias itu. Tapi Suga tetap berusaha untuk merapikannya berdasarkan warna dan bentuk pot, serta paras tanaman yang sekiranya nampak serupa.

Hanya butuh waktu sekitar lima belas menit Suga menyelesaikan pekerjaannya, entah benar atau enggak yang penting sudah telihat rapi. Cowok itu masuk ke ruang tamu setelah merapikan dan menggulung selang. Sepertinya Asya juga sudah selesai membersihkan diri, cewek itu kelihatan sibuk mondar-mandir dari kamar satu ke kamar yang lain, ke ruang tamu, ke kamar mandi, balik lagi ke kamar dengan handphone yang menempel di telinga kanan. Suga enggak ambil pusing, tanpa bertanya pun dirinya tahu kalau panggilan itu pasti dari sang bunda. Dia lebih memilih bersandar pada sofa dan memerika handphonenya sendiri yang sejak tadi belum terpegang. Cowok itu menemukan sebuah pesan dari nomor asing, kalau dilihat dari notifikasi sepertinya Suga tahu itu siapa. Mungkin bapak sudah memberikan nomornya pada si adik angkat.

Benar juga, mengenai bocah itu, seharusnya Suga menanyakan semua yang mengganjal pada Asya. Tapi hal itu harus Suga undur sejenak melihat kondisi sang pacar yang kurang baik. Dia enggak mau menambah beban pikiran Asya. Mungkin ada rasa kecewa pada cewek itu, tapi kalau ditelaah lebih jauh, semestinya Suga bisa meredam emosinya sebentar saja. Seenggaknya sampai keadaan Asya membaik.

"Malam, Sh*p** Food Mba Bianca." Sedang asyik berenang dalam pikiran, mendadak Suga berhalusinasi mendengar suara kurir makanan pesan antar salah satu aplikasi di depan rumah Asya, bahkan sampai dua kali. Mungkin karena lapar.

"Kak, itu di depan tolong ambilin dulu makanannya," teriak Asya dari dalam kamar. Suga yang mendengar teriakkan Asya langsung memeriksa ke luar rumah, dan benar saja, sudah ada kurir yang setia menunggu di depan pagar.

"Pesanan Mba Bianca, Bang?" tanya Suga pada kurir.

"Iya benar, Masnya siapa ya kalau boleh tahu?" tanya kurir peasaran.

"Saya suaminya," jawab Suga asal.
"Yeuu... ngibul aja orang. Mba Bianca kalo nikah pasti ngundang Saya, Mas. Baru dua hari beli sate sama Saya masa udah tiba-tiba punya suami."
Betapa terkejutnya Suga dengan respon sang kurir. Sebegitu akrabnya kah Asya dengan tukang-tukang jualan. Sampai tukang sate yang merangkap jobdesk sebagai kurir makanan online pun dia kenal. "Lah Saya cowoknya, Abangnya siapa sih? Kok kenal sama pacar Saya?"

"Yaelah masih pacar udah ngaku jadi suami. Bianca temen ngumpul SMP Saya, Mas. Yaudah kalo gitu Saya pamit deh, salam buat Bianca ya. Saya doain semoga langgeng, tapi kalo Masnya putus kabarin Saya ya, Saya juga mau sama Bianca." Panjang kurir aneh itu menghidupkan motornya.

"Tai Lu, enak aja doain gua putus." Teriak Suga yang sudah enggak digubris lagi oleh kurir tersebut, karena sudah kabur dengan motor bebeknya.

🌼🌼🌼

TO BE CONTINUED

Apa? Kependekan? Iya tau kok, tapi yaudah lah ya ini nulis segini aja mikirnya tiga hari. Kenapa sih perbendaharaan kata tuh kalo lagi susah ya susah banget ke luarnya. Udah pokoknya segitu dulu. Pokoknya di part selanjutnya siap-siap ya.

KATING || MIN YOONGITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang