“Gata, aku suka sama Gata. Gata mau nggak jadi pacar Bumi?” ujar lelaki yang kini jadi pusat perhatian orang-orang kampus. Sepatu biru mudanya menggores tanah dengan pelan sedangkan tangannya bertautan pertanda gugup.
Sedangkan perempuan yang di tuju tengah terpaku, memerah. Entah itu malu ataupun marah. Orang-orang yang menyaksikan terbahak. Sepertinya sangat lucu saat si banci menyatakan perasaannya pada seorang perempuan. Cinta sesama, huh?
Lama menunggu si lelaki—Bumi namanya—pun mengangkat kepalanya yang sedari tadi tertunduk, berniat bertanya sekali lagi.
“Gata? Jadi—”
Plak
Semua menahan nafas dan mendadak terdiam, Gata menampar Bumi dengan keras, seolah semua beban yang tertumpu pundaknya ikut ia lampiaskan pada tamparan itu. Bumi tertoleh dengan bibir yang ikut sedikit sobek. Serius, bagi Bumi itu tidak sakit. Namun harga dirinya yang hancur untuk kesekian kalinya lah yang membuatnya berkaca-kaca, sangat menyakitkan.
“BANCI SIALAN! GUE MAU JADI TEMEN LO, LO NYA NGELUNJAK, YA ANJING!” Agata berteriak murka melayangkan jari telunjuknya merendahkan lalu menyeka surainya kebelakang sebelum melanjutkan perkataannya, “asal lo tau aja, ya banci. Gue temenan sama lo itu cuma mau manfaatin lo. Setidaknya otak lo itu sedikit membantu lah daripada fisik lo. Jadi sadar diri, deh. Cewek mana yang mau jadi pasangan lo? Ntar tu cewek malah bingung, gimana cara lo nyodok dia.”
Sontak orang-orang tertawa geli akan ucapan frontal Agata. Lantas, ikut melempar guyonan—atau lebih tepatnya cacian.
“Anjir ngakak si banci, katanya anak kesayangan para dosen tapi kok goblok.”
“Heh kasar! Tapi bener juga, sih. Hahaha.”
Dan lain-lain.
Bumi tersenyum miris. Lagi. Ia merasakan ini lagi. Dengan tegar ia kembali mengangkat kepalanya menatap Agata sendu.
“Gata? Jadi aku ditolak, ya?”
“Yaiyalah, bangsat. Gagu banget. Udah deh, ya, jangan ganggu gue lagi. Gue udah gamau temenan sama lo, lagipula diri gue lebih berharga daripada nilai gue sendiri. Ngeri juga disukain orang kayak lo.”
Agata mengambil tasnya yang sempat terjatuh tadi karena terlalu shock atas pengakuan lelaki di depannya. Menepuknya, berusaha menghilangkan debu-debu yang menempel karena yang dipijak adalah halaman kampus yang sedang ramai-ramainya.
“So, banci. Gue cabut dulu. Bye~.” Agata berbalik menjauh. Sedangkan Bumi ingin menahan perempuan itu sekali lagi. Namun, para lelaki berandalan yang sedari tadi ikut melihat drama antar perempuan tersebut mendekat merangkulnya sok akrab.
“Jadi Bumi. Kemana destinasi akhir kita hari ini?” tanyanya jahil dan riang. Tapi tidak bagi Bumi, itu seperti panggilan dari neraka. Bumi mulai terseguk pasrah, ia ketakutan, mencoba menggeleng memberi pengertian.
“Refal, tolong. Tolong hari ini lepasin aku, aku janji bakal kasih semua uang aku, ya. Aku harus kejar Gata dulu.”
Bumi berusaha melepaskan rangkulan Refal dan teman se gangnya. Namun kepalanya malah ditoyor satu persatu oleh anggota gang Refal. “No, no, no. Kita pergi dulu ke tempat biasa, masa nolak sih? Kita ini baik loh, mau hibur lo yang patah hati, iya gak guys?” Yang diangguki anggota lainnya.
“Please, Refal hari ini aja—”
“Bacot lo anjing! Gue bilang ikut, ya, ikut banci!” Refal mencengkeram kerah kemeja Bumi, menyeretnya diikuti yang lain dengan cara tidak manusiawi. Bumi terbatuk, merasa tercekik. Berusaha menoleh kebelakang, meminta pertolongan kepada yang melihat kejadian ini.
“Tolong, please.” Wajahnya memerah, mencoba memelas pada orang-orang yang berada di sana. Namun seperti biasa pula mereka hanya menatap jijik tanpa ada rasa kemanusiaan pada Bumi.
Mereka membenci Bumi, si anak emas para dosen apa-apa Bumi yang diprioritaskan, begitu menyebalkan.
Sekali lagi, Bumi harap teman satu-satunya itu membantunya. Hanya ini harapan terakhirnya, berharap Agata hanya bercanda tadi, maka dengan sedikit kekuatan ia kembali berteriak meminta pertolongan, “Agata, tolongin aku, Gata.”
“Agata tolong. Aku mohon tolongin aku.” Suara Bumi semakin lama semakin mengecil hingga hilang di tikungan.
Sedangkan orang-orang itu telah bubar, bertindak seolah tak terjadi apa-apa. Begitu pula Agata yang sudah sedari lama juga ikut hilang tertelan jarak.
—
Lain lagi seseorang perempuan yang terdiam melihat kejadian barusan dari atas rooftop bersama seseorang lelaki di sampingnya.
“Lihat deh, seru banget kan tontonan gratisnya, Yang? Banci sih makanya gak bisa lawan.” Una si perempuan tetap bergeming menatap ke arah bawah tanpa niat sedikit pun membalas ucapan tunangannya.
Tanpa aba-aba si perempuan berbalik dan mengambil tasnya lalu beranjak pergi dari sana.
“Yang? Kok aku di tinggal? YANG! SAYANG!”
***
Ini baru awal, karena takdir sesungguhnya tengah menunggu untuk dijumpai di hari-hari yang tak terduga. Lantaran benang merah, akan selalu tau siapa yang harus ia ikat untuk terjalin kisah dari antologi semesta yang baru.
ANDA SEDANG MEMBACA
Bumi dan Istimewa
CerpenHanya tentang cerita klasik jatuh cinta dan ungkapan tentang betapa istimewanya seorang Bumi.
