PROLOG

35 8 2
                                        

Aroma petrichor menguar dengan pekat, ditambah rumput yang basah membuat perasaan tidak tenang, hujan telah reda namun perasaan tidak menyenangkan masih menetap disini, kakiku gatal terkena rumput basah. Namun semua itu tidak menyurutkan antusiasme kami, langit yang sudah mendung semakin gelap karena hari hampir malam. Kami berjalan berdempetan saling berbisik. Sejujurnya aku sangat menyukai tantangan seperti ini.

Nadav --temanku yang paling penakut-- malah mangapit kedua tanganku dan berbisik "kupikir ini ide yang buruk, aku akan tinggal di luar saja ya?" Ucapnya terdengar memohon, aku sebenarnya ingin tertawa tapi kuurungkan, karena sedikit kasihan melihatnya celingak-celinguk sambil berusaha menelan ludah.

"Hei, kita kan sudah berjanji untuk pergi sama-sama, lagi pula sudah lama kita ingin mengunjungi rumah tua ini." Sembari mengandeng bahunya, kupikir kami berdua telah tertinggal beberapa meter dari Jaded dan Hayan.

"Kalian berdua! Cepat jangan seperti sepasang sloth, buang-buang waktu saja, kalau perlu tinggalkan Nadav si penakut itu!" Teriak jaded setengah jengkel. "Wah kau mulai berani mengatai saudara mu ya?" Balas Nadav tak kalah nyaring, dengan posisinya yang mengapit lenganku tentu saja hampir pekak telingaku dibuatnya. Kami berdua langsung mempercepat langkah, Jaded dan Hayan telah sampai di depan pintu rumah tua itu, setelah dipikir ternyata halaman rumah ini begitu luas, dengan berjalan dari area pagar sampai ke depan rumahnya saja sudah membuatku berkeringat.

Kami berempat berdiri bersampingan, tanpa perlu diberitahu aku dapat merasakan aura menakutkan hanya dengan melihat pintu rumahnya yang terkesan antik dan dipenuhi sarang laba-laba. Hayan --teman kami yang paling tenang-- pun terlihat beberapa kali mengepalkan tangannya, aku tahu itu tandanya dia merasa gugup dan tidak nyaman, kami telah berteman sejak kecil. Kulihat dari ujung mata Nadav mencengkeram ujung baju Jaded --walaupun sering bertengkar Jaded akan selalu melindungi saudara kembarnya-- , kami berempat saling lirik beberapa detik hingga aku mengangguk mantap.

Hayan maju kedekat pintu, dia mencoba membukanya. Tapi seperti yang sudah kami duga, pintu itu terkunci, aku mendekat dan mencoba mengintip bagian dalam rumah melalui lubang kunci, gelap. Aku menjauh sembari melihat halaman rumah yang dipenuhi rumput itu, hujan mulai turun kembali.

BRAKKKKK

Aku terkesiap, refleks mencari sumber suara. Ternyata Hayan menendang pintu itu membuat lobang besar dibagian bawahnya, diluar dugaan ternyata pintu itu sangat rapuh, mungkin karena termakan usia. Akupun mulai merangkak melalui bagian bawah pintu yang telah hancur, disusul ketiga temanku.

𝖈𝖍𝖗δ𝖒𝖆Onde histórias criam vida. Descubra agora