6

17.9K 2.2K 23
                                    

Selamat membaca.

"Memangnya ada yang tak jelas?" Ana mengedikkan bahu, dilanjutkan menyeruput jus jeruk yang terlihat menggiurkan.

"Jadi kamu mencurigai kami ada hubungan begitu?" desis Rena tajam. Seandainya bukan di tempat umum, bisa dipastikan Rena akan menampar mulut pembantunya itu.

Ana tersenyum tipis. Matanya mengerjap-ngerjap polos. "Aku gak bilang begitu, bukankah teman kalian yang bilang seperti itu?" Tak ada ketakutan di wajah Ana walaupun lawan bicaranya seolah ingin menerkamnya saat ini juga.

"Sudah hentikan! Makan!" perintah Arjuna.

Kedua wanita itu langsung terdiam, begitu mendengar nada dingin dari Arjuna. Ya, Ana menyadari dibalik sikap suaminya yang terkadang masih kekanak-kanakan, ada sisi menyeramkan ketika laki-laki itu sudah marah.

Karena dulu dia sempat beberapa kali mendapati Arjuna marah pada para pekerja, dan itu begitu menyeramkan. Mungkin efek mempunyai kuasa hingga laki-laki tak punya rasa takut menyuarakan pendapat.

Selama makan siang kali ini, sama sekali tidak ada percakapan di antara mereka. Sepertinya semua enggan memancing amarah Arjuna, yang masih suka meledak-ledak.

Waktu menunjukkan pukul dua siang, saat keempat orang itu keluar dari pusat perbelanjaan. Ketika sampai di parkiran, Ana segera beranjak ke pintu belakang mobil. Dia ingin segera mengistirahatkan diri. Namun, gerakannya yang akan meraih gagang pintu terhenti, kala mendengar suara Rena.

"Aku duduk di belakang, ya, kepalaku agak pusing." Rena memegang keningnya, laku memijatnya perlahan. Wanita itu seakan menunjukkan dirinya sedang tidak enak badan.

Ana memperhatikan wajah cantik Rena yang tampak biasa. Tidak terlihat tanda-tanda orang sakit pada umumnya, seperti wajah pucat ataupun bibir kering. Wanita itu bahkan masih tersenyum semringah. Kalau seperti ini bagaimana dia tidak curiga, jika ini hanya akting saja.

Seandainya memukul suami tidak dosa, Ana pasti sudah melakukannya. Bisa-bisanya pria itu melibatkannya dalam drama seperti ini?

Memang dulu hidupnya tidak tenang karena dikejar hutang. Akan tetapi, sepertinya itu lebih baik daripada harus berurusan dengan sepasang kekasih yang diyakini lebih cocok jadi aktor dan aktris itu.

Ana melihat Arjuna tidak kunjung membuka suara, akhirnya berucap, "baiklah. Biar aku di depan sama Mas Yuda."

Sedetik dia bisa melihat kilat terkejut di mata Arjuna. Mungkin suaminya tidak menyangka dia akan mengalah. Mengingat sejak tadi Ana terlihat seringkali membantah perkataannya.

Tidak ambil pusing dengan raut berbeda Arjuna, Ana langsung membuka pintu depan. Di susul kemudian Yuda juga melakukan hal yang sama. Sementara tidak menunggu lama, pasangan kekasih itu juga ikut masuk.

Sepanjang perjalanan benar-benar hening. Tidak ada dari mereka yang bersuara. Sebenarnya Ana ingin mengusulkan agar menghidupkan radio, tapi dia masih sadar diri, ini bukan mobilnya. Lagipula kalau sampai dia melakukan itu, bisa dipastikan Rena akan mencibirnya habis-habisan, dan dia sedang tidak mau berdebat saat ini.

Mata bulat Ana menyipit melihat anak kecil yang sedang berjualan di trotoar. Dengan segera dia menatap Yuda, sambil berkata, "Mas aku keluar bentar, boleh, kan?"

"Ngapain?"

"Bentar aja. Toh, lampu merahnya masih lama. Boleh, ya?" tanya Ana dengan nada memohon.

Senyum wanita itu langsung terbit, melihat Yuda mengangguk. Dengan langkah cepat dia menghampiri anak itu.

"Berapa, Dek?" tanya Ana menunjuk beberapa renteng kacang goreng yang dijual anak kecil di depannya.

"Dua ribu, Kak."

DINIKAHI MAJIKAN ✓  [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang