[ featuring ; 𝐉𝐄𝐍𝐎 ]
Jeno Salvatore memutuskan untuk mengabdikan seluruh hidupnya sebagai Badan Spionase Negara Inggris. Parasnya yang paripurna senantiasa menjalani semua misinya secara serius. Namun dibalik lencananya yang tak dapat mati, dir...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Malamitu, rasanya begitu panjang. Jeno hanya bisa sedikit menatap dari matanya yang semakin sayu, didepannya ada seorang wanita yang sedang menangis sembari merengkuhnya. Sejujurnya, Jeno tak asing dengan suara itu, selayaknya banyak sekali memori yang terputar menghujami kepalanya. Si darah dingin bermarga Salvatore itu ikut sakit saat wanita itu merengkuhnya hangat.
Jeno masih belum yakin terkait perkiraannya, badannya seperti ingin hancur. Ia belum dapat memastikan siapa wanita yang tengah menangisinya, mengapa hatinya merasa sakit saat mendengarkan tangisnya?
Matanya dipaksa terbuka, Jeno melihatnya menggunakan dress biru laut compang-camping bercampur dengan darahnya karena ia beberapa kali memeluk dirinya. Disampingnya ada pistol milik Thadeus yang ia bawa malam ini, senjata yang setidaknya menyelamatkan kehidupannya walau hanya untuk satu menit kedepan.
Setelah itu, matanya mengganti objek. Tengkuknya kini ia paksakan bergerak, kepalanya berusaha menengadah.
"Don't move!" Si puan bersuara ditengah tangisnya, parau tapi masih dapat didengar.
Jeno sama sekali tidak menghiraukannya. Ia masih saja memaksakan tubuhnya yang sama sekali tidak bertenaga itu agar melakukan gerakan. Hingga, tiba saatnya manik obsidian seorang Jeno Salvatore bertemu dengan iris obsidian yang lain, senyumnya merekah walaupun rasanya bibirnya ingin robek. Bahkan sesekarat apapun badannya, Jeno masih selalu bisa mengenali wanita yang telah menjadi satu-satunya itu. Karena manik obsidian yang setenang telaga itu akhirnya ia temukan lagi, binar-binar menelisik hingga ke relungnya. Tentu dirinya tau, bukan hanya sebotol sampanye atau tembakau yang dibakar saja yaang candu, namun iris itu, iris wanita itu sama adiksinya. Jeno lega, semesta mempertemukannya lagi. Kedua iris mata itu ia tatap lagi.
"You really found me again, Galeena."
Wanita itu mengangguk lemah, "If so, don't go again. Hold yourself on. It is me, Galeena Valdez."
Jeno ingin sekali menangis, dia benar-benar ingin bertahan. Tapi sakitnya bertambah sekian del perdetiknya. Jeno menggeleng lagi ketika melihat wanitanya, Galeena, menangis semakin parau, "Don't cry, Galeena. Im okay."
"Don't go, Jevian."
"Yes, i am. But i don't promise," Ungkapnya lemah.