Bab 30

27.8K 4.2K 680
                                    

"Tiya, aku ke pesantren sebentar, kamu jangan ke mana-mana, ya."

Fatiya mengangguk, matanya tak menatap Dzaka seperti biasanya. Setelah menyalami suaminya itu, Fatiya melihat keluar sekilas. Dzaka sudah pergi menuju pondok pesantren.

Perempuan itu bergegas ke dapur mengambil pisau lipat, semprotan cabai, dan sarung tangan. Berjaga-jaga saat ia berencana keluar rumah.

"Maaf Dzaka, aku harus keluar sebentar."

Setelah mengenakan masker, Fatiya mengunci pintu dan mengambil motornya. Ia tak tenang kalau harus diancam terus menerus oleh Ares, laki-laki macam apa yang mengancam perempuan sepertinya.

Tibanya di Penium's black, Fatiya langsung masuk ke dalam. Banyak orang yang sedang berpesta di dalamnya karena merayakan kemenangan para anggota yang ikut pertandingan antar provinsi.

Ares tak menyadari keberadaan Fatiya, itu membuatnya bisa menghadang Ares dengan mudah. Lagipula untuk apa Ares mengancamnya? Padahal anggota pelatihan manah banyak bahkan berbakat.

Kenapa hanya dirinya?

Fatiya bersandar dekat bar, menatap interaksi Ares dengan para anggota. Diam-diam Fatiya mengikuti Ares berjalan menuju taman belakang, Fatiya mengambil busur dan anak panah yang terpampang di dinding.

"Aku nggak percaya ini," gumamnya.

Tak bisa dipercaya, Fatiya yang dikenal perempuan anti laki-laki itu sedang menguntit seorang laki-laki? Haruskah ia tertawa karena level agresifnya meningkat? Tidak, Fatiya benci itu.

Kemarin terlalu banyak hal yang membuat kepalanya sakit, dari terungkapnya si pengancam yaitu Ares, bahkan tukang foto yang ia minta tolong ternyata sepupu Dzaka. Fatiya berdecis, ini seperti bukan dirinya.

Fatiya curiga, kenapa dirinya berubah drastis? Dulu ia tak ingin ikut campur urusan orang lain, menatap laki-laki saja enggan, tapi sekarang? Ia tak segan ikut campur.

"Tenangkan dirimu, Tiya. Kau terlalu banyak pikiran!"

Fatiya kembali menatap Ares, laki-laki itu tengah berdiri di dekat dinding kayu sambil mendengar musik. Tangan Fatiya terangkat, mulai membidik Ares dengan tajam.

Tap!

"Astaga, ya Tuhanku!"

Ares hampir jantungan saat anak panah itu menancap tepat di sisi tubuhnya, badannya bergetar takut. Pelan-pelan menatap Fatiya yang memandangnya dingin. Perempuan itu kembali membidik.

Tap!

Kali ini ... menggores telinga Ares.

Ares berteriak kesakitan, berusaha menutup telinganya yang berdarah. Lukanya tidak dalam, tapi terasa sangat menyakitkan.

"Lebay banget, kegores doang pake acara teriak segala," sindir Fatiya jengkel.

"SIAPA LO?! ANGGOTA PELATIHAN DI SINI NGGAK ADA YANG BERANI NGEBIDIK GUE!" pekik Ares penuh emosi.

Fatiya mengambil penutup telinga dan memakainya. Mendengar suara Ares membuatnya tak suka, perasaannya jelas mengatakan kalau yang dikatakan Ares biasa saja. Entah kenapa ia hanya tak suka.

"Bisa diem, nggak? Saya pengen muntah denger suara kamu!"

Ares tersentak, ia merasa mengenali suara perempuan di depannya. Di tempat pelatihan ini ada beberapa orang yang mengenakan jilbab, dilihat dari cara membidiknya Ares langsung tahu siapa yang ia hadapi.

"Mbak Alwi?"

"Oh, kamu kenal saya?" Fatiya tersenyum sinis.

Lihat, Ares bahkan langsung tersenyum seolah-olah luka di telinga tak terasa sakit. Laki-laki itu berdiri dan mendekat. Fatiya langsung menghindar, Ares itu bau alkohol.

(Bukan) GhibranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang