Walaupun sedang di fase liburan, Dzaka tetap harus ke pesantren memenuhi panggilan di sana. Tak banyak yang harus ia kerjakan, tapi rasanya malas karena berpisah sementara dengan Fatiya.
Fatiya yang merasa raut Dzaka sedikit sedih membuatnya berinisiatif memeluk laki-laki itu dari belakang. Dzaka tersenyum.
"Kamu kenapa? Ada yang bikin sedih, ya?" tanya Fatiya perhatian.
Dzaka menggeleng.
"Makan, yuk? Aku udah masak nila, tumis buncis, sama susu rasa strawberry kesukaan kamu." Fatiya tertawa di akhir kalimatnya, bermaksud mengejek.
Dzaka tertawa, berbalik lalu mengecup bibir Fatiya singkat. Lalu berjalan sambil tertawa meninggalkan istrinya yang terkejut, hanya Fatiya yang bisa meningkatkan mood Dzaka.
"Kamu emang yang terbaik."
Fatiya menggeleng pelan, menyusul Dzaka yang sudah berada di meja makan. Perempuan itu mengambilkan bagian Dzaka dalam porsi sedang, lalu menuang air putih hangat.
"Mau ke pondok, ya? Sekolah sama pondok beda, ya?" tanya Fatiya duduk di depan Dzaka.
"Iya, beda antara pondok sama sekolah."
"Berangkatnya kapan?"
"Nanti habis mandi."
Fatiya mengangguk, menyuap nasi setelah mendengar Dzaka. Ia tahu kalau aktifitas Dzaka lebih padat dari yang dikira, walaupun suaminya itu selalu punya waktu luang.
"Biar aku siapin baju, kamu mandi aja." Fatiya mengangkat piring kotor ke wastafel.
Dzaka cemberut, ia memeluk Fatiya dari belakang. Pipi keduanya bertemu, bisa Fatiya rasakan kalau Dzaka tengah menggembungkan pipinya cemberut.
"Aduh, si manis aku kenapa?" Fatiya tertawa.
"Emangnya si manis di jembatan Anxol apa?" balas Dzaka sensi.
Fatiya cuma bercanda tapi dibalas serius sama Dzaka. Heran bercampur bingung, tapi tetap tak Fatiya pedulikan. Mungkin karena Dzaka akan pergi ke pondok makanya seperti itu.
"Kamu mau apa? Kok mood kamu berubah-ubah terus," ucap Fatiya menepuk pipi Dzaka pelan.
"Kamu mau ngabulin?" gumam Dzaka lucu.
Fatiya gemas, ada apa dengan Dzaka-nya ini? Kenapa begitu gemas dan lucu di saat bersamaan. Fatiya bisa kelebihan kadar gula kalau Dzaka seperti itu terus. Ia tak tahan dengan kadar kemanisan suami sendiri.
"Pengen mandi bareng."
"Nggak boleh! Sana cepet mandi, Dza!"
"Katanya pengen ngabulin."
Fatiya berdecak. "Bukannya nggak mau, kamu buru-buru, 'kan? Ntar malam aja!"
Dzaka menciumi Fatiya, benar-benar bersikap manja pada istrinya sendiri. Ia mengangguk sekali dan beranjak ke kamar dengan langkah santai. Fatiya jadi pusing.
"Ada-ada aja kelakuannya yang bikin jantungan."
Selesai menyuci piring kotor, ia beranjak ke kamar. Mencari baju Dzaka yang sekiranya cocok untuk pergi ke pondok. Fatiya menatap kamar mandi, belum ada tanda-tanda Dzaka akan keluar.
"Aaaa wangi Dzaka banget," gumam Fatiya mencium bau baju milik Dzaka.
Takut ketahuan Fatiya berdehem dan meletakkan baju di atas tempat tidur. Mereka sudah sekamar sejak beberapa hari lalu, dan Fatiya menyesal karena sudah pisah kamar, karena nyatanya dipeluk sambil tidur itu sangat nyaman.

KAMU SEDANG MEMBACA
(Bukan) Ghibran
General Fiction{Sudah Terbit} Fatiya tak mengenal siapa yang menjaganya secara posesif, yang ia tahu adalah laki-laki itu tulus menjaganya. Ke mana pun ia pergi akan selalu diikuti, bukan risih tapi terasa nyaman. Tatapan teduh milik Ghibran terasa menenangkan hat...