Page thirty four

404 115 69
                                    

°°°

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

°°°

"Jadi, kapan Anda terakhir kali bersama korban?" tanya seorang pria dengan seragam berwarna hitam lengkap dengan senjata pengaman, alat komunikasi dan buku catatan di tangannya. Wanita yang ditanyai masih terlihat kaget dan belum tenang, si wanita menarik napas sebelum menjawab pertanyaan tersebut.

"Dua hari lalu, dia mengajakku ke rumahnya untuk menunjukkan rak buku yang baru ia beli. Rak bukunya bagus sekali, aku tidak lama bersamanya ... sekitar tiga puluh menit. Lalu aku pulang dengan taksi, hanya itu saja. Jadi bagaimana perkembangan kasusnya?" tanya balik si wanita yang matanya memerah dan tampak bengkak. Kedua tangannya mempererat baju rajut yang ia pakai sebagai luaran tersebut, tatapan matanya lurus pada pria yang mencoba menanyainya sejak kemarin. Si pria bergantian mengembuskan napas, kasar hampir mendengus, menggeleng singkat dan menyimpan catatannya.

"Belum ada pengembangan lebih lanjut, kami masih dalam tahap penyelidikan. Tidak ada korban lain, kerusakan pun tidak berat, kasus seperti ini jarang sekali terjadi karenanya kami sedikit kesulitan. Tentu saja kami tetap berusaha, jangan cemas, kami akan mencari pelakunya." Suaranya terdengar tegas meski tidak yakin, perlahan dan singkat si petugas menepuk bahu si wanita sebelum berjalan meninggalkannya. Wanita yang ditinggalkan hanya mengangguk sebagai bentuk jawaban, ia menatap lirih ke arah petugas yang kembali ke kelompoknya. Tatapannya ia alihkan, ia pandang lagi rumah kecil yang sering sekali ia datangi, rumah kecil yang ia pilihkan warna catnya, isi perabotnya bahkan lukisan yang dipajang di dindingnya. Rumah kecil yang kini dilingkari garis pembatas polisi.

°°°


"Hei, tidak mau makan? Kami batal pesan makanannya, dan aku hanya bisa buat nasi goreng. Zeavan sedang buatkan sayuran panggang, kenapa jongkok seperti orang bodoh?" tanyaku pada G yang berjongkok nyaman di depan rumah menatap hutan gelap yang tidak ada cahaya sama sekali. Aku tahu dia marah karena kami membicarakan hal yang tidak ia mengerti. G menoleh dan menatapku masih dengan tatapan sebalnya, aku hampir tertawa karena rasa gemas, beruntung aku berhasil menahannya.

"Kau? Buat makanan? Kau yakin itu bisa dimakan? Tidak ada racunnya? Kalau aku sakit perut bagaimana?" tanyanya sambil beranjak dan berjalan masuk ke dalam rumah. Aku mendengus, sungguh seperti anak remaja di tengah masa pubertas.

"Kalau tidak mau aku tidak memaksa, aku dan Zeavan saja yang makan. Kau punya banyak uang, 'kan? Beli saja sendiri apa yang kau mau, aku hanya menawarkan karena aku baik hati," jawabku dengan senyum lebar. G terkikik mendengar ucapan yang aku sampaikan. Tangan kirinya merangkulku perlahan dan membuat kami masuk bersama.

"Baiklah nona baik hati, haha. Karena kau baik hati dan aku juga baik hati, aku akan makan masakanmu. Omong-omong, berapa usiamu? Aku merasa kita seusia," tebak G dengan menunjukkan deretan gigi tajamnya padaku. Aku menepuk punggung tangan G pelan, bukannya aku tidak suka sentuhan fisik, tapi dia membuatku seperti salah satu bawahannya.

"24 tahun, usiaku 24 tahun ini. Aku tidak yakin usiamu sama sepertiku, aku memang pendek dan wajahku awet muda, aku tahu. Itu karena aku rajin perawatan, kau tahu yang namanya skin care? Iya betul, aku pakai itu, tapi sesungguhnya usiaku di atas kalian semua." Aku tersenyum lebar, bahkan benar-benar lebar. Puas melihat raut wajah G yang menunjukkan rasa tidak percayanya. Matanya melotot dan otot wajahnya kaku, spontan ia mundur ke belakang dan mengarahkan telunjuknya padaku.

"Tidak mungkin! Kau pasti bohong! Kau sengaja berbohong berharap dihormati karena lebih tua, 'kan!?" tuduh G setengah berteriak. Senyumku masih terpatri, tidak memudar dan tidak mengecil. Aku hanya menggeleng-geleng karena ucapannya, aku merasa seperti kakak ipar jahat yang mempermainkan adik iparnya. Haha.

"Iya, iya, terserah kau saja. Aku tidak mau ribut hanya karena usia," gumamku tenang sebelum duduk di kursi dan menatap Zeavan yang tampak tidak terganggu sedikit pun. Pria dengan kacamata itu masih sibuk dengan potongan wortel, brokoli dan jenis sayuran lain yang baru ia potong-potong dan susun di atas panggangan.

"Sayurannya belum? Tidak apa kami makan lebih dulu? Aku sudah lapar sekali." Aku menggigiti sendok dan menatapnya singkat sebelum kembali fokus pada nasi goreng dengan aroma menggodanya.

"Makan saja. Aku tidak pernah minta kalian menungguku, terutama orang yang seperti tidak makan tiga hari," jawab Zeavan tanpa menoleh padaku. Aku tidak heran lagi, begitulah anak laki-laki ini. Tidak ada hari tanpa menjawabku dengan sarkasme dan ejekan, aku selalu berdoa pada penguasa agar suatu hari nanti anak laki-laki ini ditolak perempuan yang mirip denganku.

G diam memperhatikan aku dan Zeavan sejak beberapa saat lalu, ia masih berdiri dan diam di posisinya. Menatapku dan Zeavan bergantian sebelum memutuskan untuk ikut duduk dan mengambil porsi nasi gorengnya. G sedikit mencodongkan kepalanya padaku dan berbisik pelan.

"Si boneka sial itu sepertinya peduli sekali padamu. Aku tidak pernah lihat dia bicara banyak selain dengan Kashira, sudah kuduga, dia suka padamu," bisik G dengan suaranya yang aku yakin bisa didengar oleh Zeavan. Aku meraih garpu di sebelahku lalu memukul wajahnya satu kali, sebenarnya ingin aku pukul berulang kali tapi aku takut tanganku hilang setelahnya.

"Jangan bicara sembarangan, kalau aku sampai tidak nafsu makan karena ucapanmu lalu mati kelaparan. Aku akan menghantuimu sampai kau menyesal pernah hidup dan bertemu denganku," ancamku dengan nada bersungguh-sungguh. Aku mulai menyuap nasi sementara G hanya terkikik seperti orang gila dan Zeavan masih sibuk bersama potongan sayur. Pikiranku mulai melayang, dan aku tahu Zeavan juga pasti memikirkan hal ini. Bagaimana ke depannya, bagaimana setelah Chello kembali dan apa yang harus dilakukan. Aku masih belum tahu pembunuh Yeina dan Fergio, abu-abu ... seperti tidak ada dalam ingatanku, tidak pernah ada.

Aku yakin Zeavan sudah punya pemikirannya sendiri tentang pelaku, tapi mungkin masih samar, karenanya ia diam saja dan tetap berhati-hati untuk melangkah. Aku merasa semakin terbiasa berada di sini, seolah-olah aku memang tinggal di sini dan bagian dari dunia ini juga. Kalau saja G tidak tanya tentang usiaku tadi, mungkin aku lupa kalau aku akan berulang tahun sebentar lagi. Aku juga akan lupa jika, aku dan Aylene sudah berjanji akan merayakan ulang tahun bersama-sama, dia bahkan sudah pesan tiket untuk rencana liburan kami.

Kalau saja G tidak tanya, pikiranku akan tetap berputar-putar pada Chello, Fergio dan yang lain-lain. Bahkan tidak sempat untuk memikirkan bagaimana Aylene di sana, bagaimana Aylene setelah aku menghilang, bagaimana pekerjaan dan novel yang baru aku rilis tahun kemarin. Paling utama lagi, bagaimana aku di sana? Apa aku mati atau tiba-tiba lenyap seperti diculik? Sepertinya Aylene akan lapor polisi dan mulai menangis karena tidak temukan sahabatnya di mana-mana, haha. Atau bisa juga dia mengira aku kabur untuk liburan sendirian tanpa mengajaknya, anak cantik itu pasti mulai menyumpahiku.

Tidak sadar aku tertawa pelan karena pikiran sendiri, membuat G juga Zeavan menoleh bersamaan ke arahku dengan pandangan penuh tanda tanya.

"Hei? Tadi kau menangis, sekarang kau tertawa. Kau ... benar-benar sudah tidak waras? Bagaimana kalau ke dokter? Periksa ke dokter Arvein? Dokter memang menyeramkan, tapi aku yakin dia bisa membantumu." G menepuk wajahku pelan dengan sisa-sisa jari yang ia punya, membuatku tersentak dan menoleh menatapnya. Aku diam, tidak segera menjawab dan hanya mengerjapkan mata. Kulirik Zeavan yang tidak tahu kapan sudah duduk di sebelahku, pria sinis ini menatapku aneh lalu kembali pada sayuran panggangnya.

"Aku baik-baik saja, aku waras, tidak sepertimu. Aku tertawa karena aku sepertinya mulai terbiasa tinggal di sini, padahal seharusnya aku tidak bisa terbiasa. Kenapa juga aku terbiasa? Aku hanya ... ingin bertahan hidup, aku lakukan ini dan itu hanya untuk hidup agar aku bisa kembali dan bertemu dengan teman baikku lagi, tapi lama kelamaan aku hanya ingin hidup dan lupa. Aku lupa jika aku meninggalkan teman baikku sendirian, aku lupa jika aku punya pekerjaan yang baik dan aku ... " terangku tidak tersambung, suaraku tercekat begitu saja di tenggorokan. Penjelasan yang aku berikan kini berganti dengan isak tangis dan air mata yang tidak bisa lagi aku tahan.

Aku tidak peduli lagi setelahnya, yang aku lakukan hanya menangis dan merasakan ada dua orang dewasa yang segera memelukku erat-erat.

°°°

Garden Of Mirror [ Noir ] [ COMPLETE - TERBIT E-BOOK ]Where stories live. Discover now