Melihat hal mengerikan dipertunjukkan dihadapan gadis manis berusia 15 tahun, Severus tidak menyangka jikalau gadis itu bisa sebegitu tegar dan bertahan.
Zara tak mau menceritakan permasalahan keluarganya terlalu larut kepada pria bermanik arang itu lagi, ia sudah cukup tau dari pengelihatan nya sendiri tadi. Ia hanya perlu memintanya menjaga aibnya rapat rapat.
Severus hanya menuruti keinginan gadis itu untuk kembali ke rumah ayahnya. Ia ingin istirahat, katanya.
Severus mengantarkan Zara hingga sampai ke rumahnya, ia memiliki pandangan jika ia membiarkan gadis itu pulang sendirian bisa saja ia justru pergi menghilang entah kemana.
Zara membuka pintu rumahnya, berjalan memasuki lorong kecil sebelum ruang tamu, ruang kerja ayahnya dan dapur semua nya gelap tanpa secercah cahaya sedikitpun, terlebih suasana sudah petang.
Seluruhnya berantakan, foto keluarganya sudah hancur, rumahnya porak poranda. Zara yakin ayahnya habis mengamuk. "Daddy?"
"Dad.. mengapa kau menghancurkan rumahku" panggil Zara berusaha mengalihkan perhatian ayahnya. Pria itu selalu berjanji jika rumah sederhana itu akan menjadi milik putrinya, Zara Avery.
Zara melihat ayahnya sedang santai duduk di kursi kerjanya, memegang seputung rokok dengan meminum wiski murni menghilangkan penatnya. "You're home, my lovely princess"
"Yeah" Zara mendekati ayahnya, ia memeluknya dengan penuh kerinduan. "I'm sorry dad"
"Untuk apa?"
"Aku tak pulang kemarin natal, dan membuatmu justru mengacaukan rumahku" ledek Zara berusaha menahan tangis dan sakit dari relung hatinya. Severus masih setia berada di depan rumah, memperhatikan perbincangan keduanya dari balik jendela terbuka di ruangan itu depan rumah. "Kau terluka, Zara"
"Bukan apa apa yah, kau tau aku tak pernah pandai berjalan.. jatuh lagi kemarin" ia berusaha menutupinya. "Valerie! Dia menamparmu kan!!"
"No Daddy, aku tak menemuinya.. kan kau melarang ku"
"Aku tau Zara, kau menemuinya demi ku yang tak bisa melakukan apapun ini" ia mulai terisak memeluk putrinya. "Dad, jangan marah ya.. aku bawa Professor Snape kemari"
Avery berusaha mengusap air matanya, selagi memandangi wajah gadisnya yang semakin bertumbuh dewasa. "Jadi begini caramu agar tak ku marahi kali ini Zara"
"Bukan begitu dad, ya memang begitulah" Zara meledeknya bercanda. "Professor Snape, kau boleh masuk.. ku mohon tolong aku"
Zara lalu terkekeh kecil, ia berusaha menahan sakitnya meski sejujurnya mata itu tak dapat menutupi luka lukanya. Severus berjalan masuk, duduk di sebuah kursi di ruang kerja John Avery, ayah Zara.
"Lama tak jumpa, Severus"
"Begitu juga denganmu, John" Severus berusaha menghilangkan jarak lama tak jumpa meskipun aneh juga terasa. "Lagi lagi ayah! Kau menghancurkan dapur juga!!"
Zara berteriak sekaligus menggerutu, Avery hanya terkekeh gemas mendengar suara putrinya yang sering mengomentarinya. "Maafkan aku Severus, dia selalu begitu."
Zara berusaha mengeluarkan kekuatannya, mengayunkan tongkat sihirnya membuat seluruh ruangan kembali seperti semula. Menjadi tertata rapi, ia memahami cara sihir itu bekerja seperti apa yang neneknya ajarkan padanya. "Dulu Zara masih setahun saat aku melihatnya bersamamu, John"
"Kau benar Severus, dia sudah tumbuh dewasa bahkan sebelum usianya. Aku menyesal karena itu"
"Apa kalian ingin kopi, atau semacamnya?" Zara menganggu perbincangan keduanya. "Wine saja seperti biasa"
"Oke" Zara mengedipkan salah satu matanya sebelum pergi meninggalkan keduanya. "Bagaimana kondisinya di Hogwarts Severus?"
"Pendiam, tak banyak berinteraksi dengan yang lain. Hanya dekat dengan beberapa anak dan tak pernah mau di panggil dengan nama panggilannya." Severus berusaha menceritakan kepribadian Zara di sekolahnya. "Ini dia"
Zara memberika sebuah gelas ke ayahnya dan berusaha membukakan botol itu dan menuangkannya kepada sang ayah. "Aku masih ada yang ini, dear"
Zara hanya mendengus kesal, ia memberikan gelas itu kepada Professor Snape. Dan menuangkan wine tersebut ke dalam gelasnya. "Untukmu Mr. Snape"
"Terima kasih, Zara" gadis itu menatapnya tajam, seakan tak terima pria itu memanggilnya dengan nama itu. "Terima kasih, kau pikir aku akan mengatakan apa lagi?"
"Tidak!" Zara kembali meletakkan botolnya di atas meja kerja ayahnya. Mengambil sebuah wadah rokok dari laci meja ayahnya. "Cigarettes, sir?"
"No, thanks" Zara justru menghisapnya sendiri. "Kau mengizinkannya, Avery?!" Severus syok.
"Iya, aku mengizinkannya. Zara tak mungkin nakal jika ku izinkan begitu" balas sang ayah enteng, karena ia sudah mempertimbangkan yang terbaik untuk putrinya. "Tapi itu salah!"
"Tenanglah sir, aku hanya merokok jika ayahku mengizinkan, jika tidak. Aku tidak" Zara menimpalinya. Ia duduk di sebuah kursi menyender depan jendela samping meja kerja ayahnya. "Aku tak berani merokok di Hogwarts, aku tau kau mengerikan kalau sedang marah." Ia menikmati serapan itu, menenangkan pikirannya.
"Setidaknya meringankan pikiran yang berkecamuk di benakku. Selagi mengawasi ayahku agar tak menghabisikan botol wizky itu lagi" Zara tak menatap kedua pria tua itu, pandangan tetap terarah pada langit dipenuhi buliran salju malam hari. "Lanjutkan saja pembicaraan kalian, aku tak akan menggangu"
"Seperti yang ku katakan, dia jauh lebih dewasa dari usianya.. kau bisa melihat itu kan, Severus" Avery merasa menyesal mengatakan itu. Pria berhidung bengkok itu hanya mengangguk tenang, meskipun batinnya berkecamuk ingin gadis itu berhenti melakukannya.
"Daddy sudah tau semuanya, Alex datang kemari semalam. Mengatakan semuanya"
"Keparat sialan itu! Bajingan!!"
"Ck.. Bajingan itu menemui suami sahnya! Mencari perlindungan, rupanya.. sudah tertebak" Zara berdecik, muggle sialan itu benar benar menghancurkan semuanya. Zara baru sadar, jika yang mengatakan itu adalah ayahnya sendiri. "A-apa!! Ayah!!"
Ia bangkit menatap ayahnya yang sedang menatap nanar foto keluarganya di meja kerja, melihat Zara kecil di pelukan ibunya. "Maafkan ayah Zara, tak dapat melindungi mu"
"Kau tak salah, ini salahku ayah.. tak bisa membuat Valerie kembali padamu"
"Ini semua karena ku, kau jadi menanggung semuanya.." pria itu terpengaruh alkohol di dalam tubuhnya. "Ini bukan salahmu, ini bukan kesalahan, ini pelajaran untukku menjadi dewasa ayah! Terima kasih kau sudah bertahan untukku.. Terima kasih sudah memberikanku kebebasan, kau sempurna di mataku"
"Kau lelaki terkuat yang pernah ku temui. Aku berharap bisa menemukan lelaki lain yang sekuat dirimu, yang akan menemaniku hingga tuaku nanti.. bersama denganmu juga ayah.." Sakit sekali rasanya melihat pria itu menangis, alasan terkuatnya bertahan. Ia terluka dan mengaduh kepadanya.
"Jangan menangis, kau harus tidur ayah.. maafkan malam natal yang kacau ini karena Zara mu yang nakal"
"Zara cantik, jangan tinggalkan Daddy lagi ya.. kau satu satunya alasan Daddy bertahan untuk hidup"
"Never, never daddy.."
"Never"
Severus tak kuasa menahan tetesan yang menggenang di pelupuk matanya, melihat alasan gadis itu kuat bertahan. Sendirian. Melihat gadis itu berusaha menahan tangis dari sakit yang di deru nya, keluarganya hancur dan ia berusaha bertahan membela ayahnya yang tidak berdaya mempertahankan keluarganya, tak seperti dirinya dulu. Ia tak mampu mempertahankan ibunya dan melawan ayahnya.
Hingga di titik ini, Severus mengetahui alasan gadis itu diam sendiri, tanpa banyak suara indah yang ia keluarkan dari bibirnya yang manis, alasan mengapa ia tak ingin banyak menampakkan dirinya di permukaan, tak ingin menunjukkan suasana hatinya. Ia menutupi semua ini, luka lukanya. Ia tak mau satupun orang tau kelemahannya, termasuk ayah dan ibunya sendiri.
TBC
YOU ARE READING
• HIDDEN MEMORIES •
FanfictionMenjadi seorang penyendiri sudah menjadi pilihannya, bukan tanpa sebab. Ia tak ingin terlalu menyakiti orang lain di sekitarnya. Tak pernah terlihat karena keinginannya sendiri justru mengantarkannya pada hal indah yang tak pernah ia sangka. Ada se...
