[8] Kejutan

13 4 0
                                    

Selamat membaca^^

💌💌💌

"Lihat siapa Wulan?"

Pertanyaan ayah menyadarkanku. Aku menoleh dan melihat kerutan di dahinya menatap bingung. Kulihat lagi kepergian Tisa yang sudah berlalu dengan motornya. Apa yang tadi dilakukannya? Merekam pembicaraanku dengan ayah?

"Wulan?"

"Hah?" Aku kembali terkejut. Segera kugelengkan kepala. Mendadak perasaanku gusar. Apa yang akan direncakan Tisa dengan hal itu? Kurasa akan dia jadikan bahan gosipannya yang baru. Tapi kenapa kebetulan sekali aku bertemu dengannya di sini? Padahal aku tahu Tisa jarang berpergian untuk makan-makan di luar kampus.

"Wulan, ini uang belanja dari Ayah."

Ayah menyodorkan amplop cokelat ke depanku. "Buat uang kost juga, ya. Dibayar lunas aja sampai akhir tahun."

Kupaksakan mengangkat kepala. Ayah tersenyum, lalu memakan baksonya. "Tapi Ayah kan bisa transfer aja," ucapku.

"Iya, nanti Ayah akan transfer seperti biasa. Anggap aja ini hadiah lebaran dari Ayah, ya. Soalnya nggak sempat pulang waktu lebaran."

Hatiku teriris mendengarnya. "Ayah nyogok biar Wulan mau tinggal sama Ayah?" tuduhku tak suka dengan cara ayah yang begini. Padahal sudah dua bulan dia tak lagi meneleponku sejak pergi dari rumah.

"Enggak, kok. Ayah tahu keperluan anak perempuan itu banyak. Mungkin nanti Wulan mau beli baju baru, sepatu, atau buku buat kuliah. Jadi ini nggak termasuk uang jajan bulanan." Wajah ayah tampak tenang. Lagi-lagi dia tersenyum padaku.

"Wulan nggak mau."

Aku letakkan sendok dengan kasar, bergerak cepat untuk pergi dari sana. Hatiku semakin sakit berlama-lama dekat dengan ayah. Kekacauan di rumah dulu kembali terngiang di kepala. Membuatku semakin menyimpan rasa benci kian besar.

"Wulan, tolong terima pemberian Ayah." Dia menahan lenganku saat akan melewati meja. Lalu mengambil amplop tadi dan memasukkan ke dalam saku gamisku. "Jangan ditolak Wulan, Ayah bakal makin merasa bersalah."

Aku menoleh. "Kalau Ayah merasa bersalah, cerai sama tante itu!" Kemudian aku berlalu dari sana dengan air mata yang sudah jatuh berkali-kali di kedua belah pipi. Aku mengusapnya dengan kasar. Berjalan dengan muka basah di trotoar, menjadi sorotan orang-orang sekitar aku tak peduli. Rasa malu sudah kalah dengan kekecewaanku kini.

Napasku tercekat, sebab membungkam isakan yang akan lolos. Setelah berjalan sejauh lima ratus meter lebih, aku berhenti pada halte yang ada di pertigaan jalan. Kulirik ke kanan, tak ada ayah di sana. Aku yakin dia tak akan mengejarku, sama seperti saat ayah tak mau menemuiku yang sedang menangis di kamar mendengar keputusannya. Dia langsung pergi saja tanpa mau meminta maaf bila pilihannya telah menyakiti perasaan anak-anaknya.

Aku ambil tisu dari dalam tas yang belum sempat kugunakan. Kutepuk-tepukkan di wajah membersihkan sisa air mata. Untung saja aku hanya menggunakan sunscreen dan bedak tabur, jadi tak rusak saat aku tadi menghapus kasar dengan tangan. Untunglah, mukaku masih bisa terselamatkan untuk berjalan pede sejauh setengah kilometer lagi untuk mendapatkan angkot ke kost.

Kuhela napas. Apa seberat ini cobaan untuk menguji kesungguhanku, Tuhan? Apa benar ini salah satu dari rencana-Mu untuk menguatkanku? Aku tahu, Engkau tak akan menguji manusia di luar batas kesanggupannya, tapi semua ini begitu tiba-tiba. Datang lagi dan lagi. Aku sempat berpikir bila ini adalah bagian dari takdir menyedihkan yang memang ada dalam garis hidupku. Apabila perpisahan itu tak pernah ada, apa yang akan terjadi? Apa ayah akan jarang pulang? Mungkin dia akan tetap menikah diam-diam.

40 HARI TANPA KAMU [Dilanjutkan di Fizzo]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang