"Memangnya kenapa saya harus peduli sama kamu? Apa kamu pernah peduli dengan orang lain?"

"Pernah kamu benar-benar peduli sama orang lain?" tanyanya kembali.

Moa diam dengan isak tangis yang semakin terdengar jelas. Pak Haecan memang benar, selama ini Moa hanya peduli dengan dirinya sendiri.

"Kalau saya tidak diam, saya dipecat, saya tidak bisa memenuhi kebutuhan hidup saya, kamu akan peduli sama masalah saya? Ha?"

"Enggak kan?"

"Saya egois? Iya! Saya egois. Tapi saya tidak akan menjadi seperti ini jika tidak ada yang memulainya!"

"Saya orang nggak punya dan kamu kaya raya. Saya tidak punya apa-apa sedangkan ayah kamu berkuasa. Saya bisa apa!"

Menjadi Pak Haecan juga tidak lah mudah. Ia harus dihadapkan dengan dua pilihan sulit, keadilan atau kebutuhan. Jika memilih keadilan, maka ia tidak bisa mendapatkan kebutuhan. Sementara jika ia memilih kebutuhan, maka ia harus merenggut keadilan.

Manusia masih bisa hidup tanpa keadilan, tapi manusia tidak akan bisa hidup tanpa kebutuhan.

Pandangan Moa yang semula tertuju pada Pak Haecan, kini beralih menatap teman-teman sekelasnya yang juga kompak sama-sama terdiam.

"HAAAAAH!" Moa lagi-lagi menjerit.

Brak!

Braak!

Buku milik murid yang duduk di bangku depan dan berada di atas meja, ia lempar begitu saja hingga melayang, jatuh, kemudian robek.

Moa terisak pilu.

Pak Haecan menatap bangku kosong yang semula adalah tempat duduk Cakrawala. Dadanya mendadak sesak. Anak itu tidak punya salah apa-apa, tapi dialah yang justru harus menanggung segalanya.

Moa mencengkram kuat kepalanya yang terasa sangat sakit.

"Moa."

"Akh!"

Pandangan Moa kabur, semua objek di sekitarnya tampak berputar-putar, hingga akhirnya;

Brak!

Ia jatuh tidak sadarkan diri.

---

Mendengar kabar jika Moa tidak sadarkan diri, Galaksi yang semula berada di lapangan olahraga langsung berlari menuju ruang UKS. Meninggalkan pelajaran olahraganya begitu saja.

Sejak awal ia sudah mengkhawatirkan kesehatan Moa. Sepeninggalnya Cakrawala, kondisi Moa benar-benar kacau. Hal tersebut kian diperparah oleh Mama Moa yang sudah menikah lagi dan Papa Moa yang tidak peduli lagi padanya karena lebih memilih bersama wanita barunya.

Saat ini Moa tidak tinggal bersama Papa atau Mamanya. Ia memilih tinggal sendiri di rumah peninggalan milik neneknya.

Galaksi mengusap pelan puncak kepala Moa. Gadis itu masih memejamkan mata, wajah dan bibirnya pucat, kantung matanya juga terlihat sangat kentara.

Mata Galaksi memerah, menahan air mata yang siap ia jatuhkan. Ia paham. Kepergian Cakrawala yang jatuh tepat dihadapannya juga terus menerus menghantuinya. Membuat dadanya terasa sakit seperti ditimbun pasir hingga ia kesulitan bernapas. Bahkan tidur pun juga sulit.

Galaksi menangis.

"Hiks!"

"Hiks!"

Pelan-pelan Moa membuka matanya. Ia berkedip lemah, menyesuaikan cahaya yang masuk ke dalam mata. Telinganya mendengar suara tangisan seseorang, saat ia menoleh ke kiri, dilihatnya Galaksi tengah duduk sambil menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Pundak cowok itu bergetar.

Moa menyentuh pundak Galaksi. Merasakan sentuhan dipundaknya, Galaksi segera mengusap air matanya sebelum memperlihatkan wajahnya pada Moa.

"Ehm," Galaksi menatap wajah pucat Moa.

"Ala..." Ujar Moa lemah.

"Kamu nggak papa?" tanya Galaksi.

Moa mengangguk kaku. "Nggak papa," jawabnya dengan suara parau, menahan tangis.

"Kamu nggak papa?" ulang Galaksi.

Lagi-lagi Moa mengangguk. "Iyah, nggak papa."

Mata Moa berkaca-kaca.

"Kamu nggak papa?"

"Hiks!" Moa menggeleng. "Sakit... hiks!"

"Ala... sakit... hiks!"

Moa menangis. Galaksi seketika berdiri, menarik tubuh Moa ke dalam pelukannya.

Di dalam dekapan Galaksi, tangisan Moa pecah. Air matanya membasahi seragam olahraga berwarna biru yang dikenakan oleh Galaksi.

Galaksi mengecup lembut puncak kepala Moa, air matanya turut jatuh bersama dengan tangisan Moa.

"Kita lewatin ini sama-sama, ya. Hem?"

Tidak ada jawaban dari Moa, yang terdengar adalah suara isak tangis memilukan.

"Hiks!"


---

Minggu, 1 Agustus 2021.
Cerita ini telah resmi selesai ditulis.

2. NOT ME ✔️ Where stories live. Discover now