Pertandingan berlangsung lama hingga sore hari. Fatiya tadi sempat oleng karena lajunya Lion terlalu cepat, namun karena sudah mahir perempuan manis itu bisa mengatasi kesulitannya. Banyak yang melihat kejadian itu hampir jantungan, pasalnya Fatiya hampir jatuh.
"Ya Allah, aku hampir jantungan, loh, Tiya!" ucap Dzaka penuh kekhawatiran.
Fatiya tersenyum tipis, ia menurunkan busurnya dan meletakkan di atas meja. Manik cokelatnya menatap area pertandingan malas, tanpa aba-aba Fatiya meraih tangan Dzaka dan menciuminya pelan.
Pemilik tangan tersentak. Dzaka menarik napas perlahan karena tak bisa merespon sama sekali, senyumnya kian melebar. Dzaka menunduk lalu untuk pertama kalinya ia berdoa untuk istrinya.
"Aku ada permintaan," bisik Dzaka setelah menyelesaikan doanya.
Fatiya menelan salivanya susah payah, menatap sekeliling yang mulai sepi. Jantung Fatiya berdetak kencang. Apa yang akan diminta Dzaka? Fatiya menggigit bibirnya takut.
"Per ... mintaan a-apa?" Fatiya was-was.
Dzaka tersenyum manis.
****
Minggu pagi sudah disibukkan banyak hal. Kebetulan karena Abi dan Umi sudah pulang dari luar kota, Dzaka langsung meminta izin keduanya. Fatiya pikir permintaan apa sampai Dzaka senang bukan main, ternyata ia ingin pindah ke rumah yang telah ia sediakan.
"Tiya, kamu udah tau dong Dzaka ini menantu Umi?" Umi tersenyum geli.
Fatiya berdecak.
"Iya, jahat banget loh Umi sama Abi nggak bilang sama Tiya soal masalah ini. Mana pas ketemu Dzaka langsung meluk aku lagi, 'kan refleks mukul!"
Abi terbahak, mencoba membayangkan adegan yang baru saja dibilang anak perempuannya. Umi tersenyum, mengusap bahu Dzaka seolah-olah berkata 'Yang tabah, ya, Nak'.
Keduanya pamit, masuk ke dalam mobil dengan helaan napas lega. Fatiya menatap Dzaka sekilas lalu melihat handphonenya yang terdapat pesan dari Ares. Tak peduli, perempuan manis itu memilih membuka whatsapp dari Resya.
"Kukira permintaanmu apa, ternyata pindah rumah. Bikin jantungan aja," celetuk Fatiya.
Dzaka tergelak. "Emangnya kamu mikir apa? Kita udah nikah, aku nggak enak sama Bunda dan Umi. Lagian rumah kita udah aku siapin jauh-jauh hari sebelum nikahin kamu.'
Fatiya menggigit bibirnya, Dzaka terlalu blak-blakan jika bersamanya. Ia memalingkan wajah, tak membiarkan Dzaka untuk melihat rona wajahnya yang kian memerah. Apa, sih! Fatiya jadi salting.
Dan lagi, kenapa bisa laki-laki yang berstatus suaminya itu begitu sabar menghadapinya? Fatiya jadi tak enak hati, bahkan rasa bersalah menyerang hatinya karena telah berbuat jahat pada Dzaka.
"Aku penasaran, kitakan udah nikah. Trus kamu anak santri, kerjanya gimana?" tanya Fatiya bingung.
Dzaka tertawa, memang sepatutnya Fatiya bertanya hal seperti itu. Karena selama ini ia hanya mengenalkan diri sebagai suami dan anak santri.
"Aku mengelola cabang perusahaan punya Ayah, udah pindah tangan sebelum nikahin kamu."
"Huh?" Fatiya berkedip sekali. "Emangnya bisa? Kamu kelahiran tahun berapa?"
"Tahun 1999."
Fatiya berdecak, dirinya dan Dzaka berbeda tiga tahun. Benar-benar di luar dugaan, padahal ia mengira hanya berbeda setahun.
"Ini kok belum nyampe-nyampe, sih? Jauh, ya?" tanya Fatiya heran.
"Deket kok."
"Tapi dari tadi nggak nyampe-nyampe, Dza!"

KAMU SEDANG MEMBACA
(Bukan) Ghibran
General Fiction{Sudah Terbit} Fatiya tak mengenal siapa yang menjaganya secara posesif, yang ia tahu adalah laki-laki itu tulus menjaganya. Ke mana pun ia pergi akan selalu diikuti, bukan risih tapi terasa nyaman. Tatapan teduh milik Ghibran terasa menenangkan hat...