"Siap?"
"Aku enggak siap!"
"Tahan, ya?"
"Jangan kenceng-kenceng, Dza! Akhh!"
Fatiya terpekik saat Dzaka tak sengaja mengikat kuat perban di jari-jemarinya. Jarinya itu sering terluka karena selalu latihan memanah, entah itu mengenai ujung mata anak panah atau tergores sama busur sendiri. Fatiya memang seceroboh itu.
Dzaka mencium jemari itu lembut. Banyak bekas goresan di sana karena selama sebulan ini Fatiya latihan memanah. Kali ini, bukan luka goresan ringan, tapi luka yang lumayan dalam.
"Tangan kamu jadi banyak lukanya," ucap Dzaka.
Fatiya meringis. "Maafin aku, resiko latihan manah lebih serius dari yang diduga."
"Lain kali pakai sarung tangan."
"Masa pakai sarung tangan, sih! Rasanya beda kalo megang anak panah," sungut Fatiya.
Dzaka menghela napas pelan, ternyata Fatiya keras kepala juga. Padahal sudah tahu apa resiko bermain-main dengan busur, tetap saja ia lakukan dengan senang hati karena menyukainya.
Fatiya menatap jarinya, membiarkan Dzaka mengambil peralatannya di kamar dan membawanya ke dalam mobil. Frisqi ikutan membantu sambil memperhatikan interaksi Dzaka dan Fatiya yang terbilang lucu baginya.
Selesai dengan semua itu, Dzaka dan Fatiya masuk ke dalam mobil. Hari ini adalah hari di mana Fatiya akan mengikuti pertandingan panahan, Dzaka dan Frisqi tentu ikut menyaksikan perempuan kesayangan mereka.
Umi dan Abi sedang berada di luar kota, mereka ingin ikut melihat tapi tidak bisa. Fatiya menyayangkan hal itu dan memakhlumi orangtuanya. Perempuan manis dengan jilbab warna cream itu menatap Frisqi.
"Qi, kamu nggak ikut?" tanya Fatiya.
"Nanti Qiqi susul sama temen, mau beli mawar dulu," balas Frisqi.
"Buat siapa?"
"Buat Kakak lah, masa buat pacar Qiqi." Frisqi mengerling nakal.
Fatiya memutar bola matanya malas, Frisqi tertawa. Anak itu meraih tangan Fatiya dan menyalaminya, menciumnya lama sambil memperhatikan luka milik kakaknya.
Frisqi menjauh sambil tersenyum manis, melambai pada Fatiya dan Dzaka saat mobil itu menjauh. Laki-laki itu menurunkan tangannya, rautnya berubah dingin. Ia mengambil handphone dan menelpon seseorang.
"Gue nggak mau tau, lo jagain Kakak gue di manapun dia berada," titah Frisqi tajam.
"Siap, ketua!"
Frisqi menutup telpon, melirik sekilas anak-anak motor dengan jaket Xevora menyusul mobil Dzaka. Pasti Farhan yang memerintahkan mereka, Frisqi tersenyum tipis. Ia tahu, ia sangat tahu siapa Dzaka karena laki-laki itu sendiri yang menceritakannya tepat saat akad nikah dulu.
"Keren, gue dapet Kakak ipar ketua Xevora. Kalo gitu penjagaan Kak Tiya bakal maksimal," gumam Frisqi.
Seseorang berhenti di depan Frisqi, melepas helmnya dengan santai. Laki-laki itu menghampiri Frisqi dan memberikan pesanan bunga mawar milik Frisqi.
"Thanks, lo emang bisa diandelin."
"Kayak sama siapa aja lo, Qi! Omong-omong bunganya buat siapa? Pacar?" tanya Rafael heran, ia kembali menatap bunga itu.
"Cowok dingin kayak lo pacaran? Siapa ceweknya sampe bisa luluhin gunung es kayak lo, Qi!" seru Rafael histeris.
Frisqi memutar bola mata malas, membiarkan Rafael mengoceh seenaknya sambil mengambil motor. Frisqi memakai helm dan memberi isyarat untuk mengikutinya.

KAMU SEDANG MEMBACA
(Bukan) Ghibran
General Fiction{Sudah Terbit} Fatiya tak mengenal siapa yang menjaganya secara posesif, yang ia tahu adalah laki-laki itu tulus menjaganya. Ke mana pun ia pergi akan selalu diikuti, bukan risih tapi terasa nyaman. Tatapan teduh milik Ghibran terasa menenangkan hat...