10.1

29.9K 6.2K 254
                                    

*

Selamat membaca

*

*

Jangan lupa taburan bintang dan komennya, gaes!

*

*


SEPULUH MENIT Rukma memberi waktu Ghina beramah-tamah bersama Tita dan juga Steven, lalu menarik paksa sahabatnya itu keluar dari ruang tengah. Sempat ada penahanan sedikit dari Tita yang memang sudah Tiga bulan tidak bertemu Ghina secara langsung, tetapi mainan baru yang dipamerkan Alfa berhasil menghentikan rengekan dan menarik minat Tita. Sementara Steven, awalnya lelaki itu mengawasi pergerakan Rukma dan Ghina. Seolah, ketakutan Rukma bakal mengadukan sesuatu atau membicarakan yang mungkin memburukkan citra di depan Ghina. Namun, spontan berhenti dan ikut membantu Alfa mengalihkan perhatian Tita, ketika Rukma melemparkan lirikan sengit.

Lagi pula, apa yang mau diadukan ke Ghina? Ciuman panas mereka, yang diteruskan obrolan tentang jadi teman saja? Sinting!

"Kenapa dadakan?" todong Rukma, sambil menutu pintu kamar.

Ghina sempat membuka bibir sedikit, lalu berbalik dan mengamati susunan baju yang disiapkan tetapi belum dimasukkan Rukma. Ghina Mengajak Tita pergi bukan hal baru, hanya saja kali ini terlalu tiba-tiba—terasa dibuat-buat. Seperti sudah direncanakan?

Rukma mengernyit.

Apa Steven menceritakan apa yang terjadi? Berapa persen kemungkinan itu terjadi? Dengan langkah lebar, Rukma berdiri di samping Ghina dan memperhatikan wajah tanpa make up perempuan itu.

Satu kerkurangan dari banyaknya kelebihan Ghina adalah tidak bisa menyembunyikan apa pun. Apa yang Ghina rasakan, pikirkan, selalu tergambar jelas di wajah. Lucu sebenarnya, kalau Rukma ingat betapa seringnya Ghina mengeluh tentang Alfa yang selalu berhasil menebak cepat isi pikiran Ghina. Tidak perlu jadi Alfa, Rukma juga bisa. Hanya saja, di saat-saat tertentu dia malas menunjukkan ketahuannya. Namun, hari ini ... dia sengaja memperlihatkan bahwa dia tahu di otak Ghina ada papan rencana yang dipenuhi ide-ide tak masuk akal, yang mungkin berhubungan erat dengan Steven.

"Na ...."

Seolah ingin berputar-putar lebih lama lagi, Ghina sengaja menghitung baju yang menumpuk di pinggir ranjang, dan berkata, "Tita udah benaran lepas pampers, kecuali malam? Baiklah. Nggak perlu lo bawain, gue beli aja nanti."

"Mama Ghina!" Rukma menarik kedua tangan Ghina, memaksa sahabatnya itu mempertemukan pandangan mereka. "Jangan terus-terusan muter di jalan alternatif, gue lebih suka lewat jalan gede."

Ghina tersenyum simpul, dan Rukma tersadar kemungkinan besar Ghina sudah tahu apa yang terjadi di rumah ini. Selama beberapa saat, keduanya saling pandang lalu kompak duduk bersama di pinggir ranjang.

"Kenapa tiba-tiba?" Enggan diajak Ghina berputar-putar lagi kalau langsung diarahkan ke topik utama, Rukma memilih mengulang pertanyaan. "Jangan jawab biasanya dadakan. Gue akuin lo memang sering tiba-tiba, tapi lo selalu ngabarin dua atau tiga hari sebelumnya ... nggak pernah kayak gini. Semalam sebelumnya."

"Gue kan udah kasih tahu di WhatsApp. Pengajuan cuti Alfa baru diterima, rencana liburannya juga dadakan." Ghina terlihat sengaja memasang ekpresi polos. Seakan-akan tidak mengerti alasan kecurigaan Rukma, tetapi mata perempuan itu gagal total. Dari sorot mata Ghina, Rukma menemukan keraguan sekaligus keyakinan di saat yang sama. Rukma memicing—menepis lebih banyak ide tidak masuk akal, dan Ghina melanjutkan dongeng. "Alfa juga ngabarin gue lewat Maghrib, terus gue disuruh pilih mau ke mana. Karena gue ingat udah lama banget janji ke Tita mau ajak main dia di pantai, ya, gue pilih Bali."

The TeaseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang