Semalam, Injun lupa menutup tirai jendela sehingga pagi ini dia dibangunkan oleh sinar matahari yang langsung menyorot wajah tanpa permisi.
Menggunakan tangan, dia menghalaunya lalu duduk menghadap pintu. Sekarang sudah jam tujuh, satu jam lebih lambat dari waktu biasanya dia bangun tidur. Kalau sedang di Seoul pasti Kangcheol akan menceramahinya habis-habisan, tak jauh dari kalimat, "Pemalas. Ingin menjadi apa nanti?" Yang kemudian Injun Jawab, "Guru lukis, dan aku sudah menjadi guru lukis kalau samchon lupa." Tak cukup sampai di situ, keduanya akan lanjut beragumen sampai salah satu dari mereka menyerah.
Tapi, sekarang dia berada di kota Yeongwol, tepatnya di desa Gieog, sendirian, dan yang terpenting dia sudah menjadi pengangguran. Injun mendesah kasar sebelum beranjak dari tempat tidur dan menyambangi kamar mandi untuk mencuci muka.
Jjajangmyeon semalam untungnya masih menahan laparnya sehingga pagi ini dia hanya minum dua gelas air putih. Inginnya minum teh, tapi ingat belum berbelanja. Mungkin jam sepuluh nanti dia akan pergi ke supermarket. Kalau sekarang masih terlalu pagi, juga dia hendak mengunjungi toko bunga milik Jeno dahulu, memenuhi janjinya kemarin.
Sambil menenteng gelas, Injun keluar rumah untuk sekedar menghirup udara pagi. Baru selangkah menapaki teras, Injun dibuat berdecak kesal. Halaman rumahnya penuh oleh daun-daun kering yang berjatuhan. Kesal, sekaligus heran juga. Sekarang musim semi tapi kenapa banyak daun kering berserakan? Injun terdiam sejenak lalu mengedikkan bahu. Entahlah, dia pun tak paham. Daripada memikirkan apa penyebabnya yang hanya membuang waktu secara percuma, lebih baik membersihkannya sebelum matahari semakin naik.
Injun menaruh gelas di meja. Pandangannya mengedar untuk mencari sapu. Kurang lebih dua menit dia mencari, sapu ditemukan di sisi kiri rumah. Injun mendesah senang sekaligus geli. Merasa konyol pada diri sendiri yang senang hanya karena menemukan sebuah sapu.
Daun-daun kering sudah Injun kumpulkan menjadi satu tumpukan. Dia kemudian mencari karung kosong untuk menampungnya sebelum membuangnya di luar. Tak mungkin ada di dalam rumah. Injun dengan kesoktahuannya menghampiri suatu gubuk kecil yang ada di halaman belakang. Pintunya sudah reot, pasti gubuk ini sudah dibuat cukup lama. Atau, jangan-jangan seumuran dengannya?
"Mmmm, mungkin?" Injun iseng mengetuk-ngetuk dindingnya. Terasa lapuk. Dia mundur sedikit tanpa melepas pandangan dari pintu gubuk. "Kalau dibuka apa akan rubuh?" Tangannya beralih mengetuk-ngetuk dagu, memikirkan keputusan apa yang akan dipilih.
Dua menit berpikir, Injun memilih untuk membukanya.
Derit engsel yang sudah berkarat akibat termakan waktu menyapa pendengaran. Injun mengernyitkan kening karena suaranya sangat memilukan, sedikit membuat merinding. Perlahan namun pasti, dia mendorong pintu itu hingga setengah terbuka. Banyak karung kosong di dalamnya. Injun menyelipkan tubuhnya di antara pintu dan dinding, berusaha untuk tak mengenai apapun. Ketika sudah di dalam gubuk, aroma kayu dan cat semakin kuat. Injun hendak menutup hidup menggunakan baju tapi diurung sebab menemukan sepeda roda tiga di dekat lemari.
"Hwang Injun," gumamnya, membaca tulisan yang tertera di badan sepeda. "Tulisan appa atau eomma, ya? Bagus sekali." Injun melihatnya lagi sambil tersenyum. Entah ini tulisan ayah atau ibunya, perasaan hangat mengalir di dadanya. Salah satu benda dari masa lalunya ditemukan. "Sepertinya sejak dulu aku memang menyukai warna kuning, bahkan setelah amnesia pun. Baiklah, norang-ssi." Injun terkikik geli kemudian kembali berdiri.
Niatnya untuk mengambil karung sepertinya dilupakan begitu saja. Injun malah lanjut mengelilingi gubuk sambil memindai setiap benda yang ia lihat. Rata-rata barang yang dia temukan adalah perkakas lama, tak lain dan tak bukan adalah milik ayahnya. Kangcheol pernah bercerita kalau ayahnya senang membuat barang-barang berbahan dasar kayu. Ayahnya juga suka memahat, dibuktikan dengan adanya beberapa patung kayu berjajar rapih di rak paling atas. Tiga dari tujuh patung kayu itu ada yang sudah diwarnai. Injun yakin kalau yang mewarnai patung-patung itu adalah ibunya. Sebab terciri sekali dari pemilihan warnanya yang cenderung lembut.

KAMU SEDANG MEMBACA
Spring Has Come
FanfictionSetelah sekian lama, Hwang Injun kembali ke desa Gieog di awal musim semi walau tak bisa mengingat apapun. Kecelakaan enam tahun lalu-lah yang menyebabkan dirinya mengalami retrograde amnesia. Alasan mengapa ia kembali ke desa itu adalah untuk beris...