2

301K 25K 3.1K
                                    

Nana dengan hati yang sulit dijelaskan menuruni tangga karena jam sudah menunjukkan waktunya makan malam. Sebenarnya ia sedang tidak nafsu makan namun, ayahnya sedang berada di rumah dan kalau ia sampai tidak makan bisa habis riwayatnya.

"Kamu itu kenapa sih? Papa liat-liat dari sore kayaknya cemberut mulu mulutnya. Papa lagi di rumah kok dicemberutin terus, ntar kalo papa ke luar kota ngerengek-rengek nyuruh pulang.."

Nana menghembuskan napas panjang, "Nggak papa pa. Mama mana?" Nana celingukan mencari keberadaan Rara. Bagas memejamkan mata sebentar lalu menunjuk dapur. "Lagi bikin kopi." Nana manggut-manggut.

Rara kembali dari dapur sembari membawa secangkir kopi hitam kesukaan Bagas. Ia duduk di depan Nana lalu menyiapkan makan untuk suaminya. Rara sebisa mungkin untuk selalu melayani suaminya agar jatah bulanan lancar. Bercanda. Itu semua dilakukan Rara dengan sepenuh hati karena Bagas pun sudah menafkahinya sepenuh rekening.

"Nana boleh keluar malam ini nggak?"

Bagas menghentikan makannya dan menatap Nana, "Mau kemana?"

Nana berpikir sebentar. Ia pun tidak tahu ingin kemana hanya saja ia butuh penyegaran otak karena merasa suntuk di rumah. Biasanya, ia akan menelpon Devin dan mereka akan jalan-jalan mengelilingi kota dengan menaiki motor. Itu adalah kegiatan terseru mereka selama mereka berpacaran, menurut Nana.

"Nggak tau. Cari angin aja sih,"

"Nggak usah lah, di rumah aja ngapain gitu. Nonton drakor misalnya." bujuk Bagas. Nana mendelik, tak biasanya papanya menyarankan suatu kegiatan yang biasa ia lakukan. "Tumben banget ngelarang Nana keluar. Nana ke taman kota aja pa, boleh 'kan ma?"

Biasanya mamanya akan setuju kalau papanya tak setuju. Dan benar saja, Rara mengangguk.

"Jangan pulang malem-malem ya, jam sepuluh harus udah di rumah."

Nana pun akhirnya tersenyum, "Siap bos."

Saat ini Nana sudah bersiap-siap untuk pergi ke taman kota. Ia pun sudah berpamitan dengan kedua orang tuanya lalu menaiki mobil yang ia pesan melalui aplikasi hijau. Sepanjang perjalanan, Nana mendengarkan musik untuk menghilangkan kebosanan.

"Shimmie shimmie Ko Ko Bop... I think I like it..."

Kepala Nana manggut-manggut seirama nada lagu yang terputar. Ia melepas earphone lalu berjalan masuk ke dalam taman kota yang dipenuhi lampu-lampu berwarna kuning dan berwarna-warni. Suasananya pun lumayan ramai meski tak seramai saat malam minggu.

Nana duduk di kursi panjang. Ia melihat jalanan yang ramai dengan perasaan damai. Semilir angin yang menerbangkan rambutnya seakan menambah ketenangan Nana malam ini. Healing terbaiknya adalah melihat jalanan di bawah pohon taman kota.

"Gue kurang apa coba? Masa gara-gara make up gue diputusin? Gak masuk akal banget anjir. Yakin sih Devin bakal nyesel senyesel-nyeselnya ninggalin berlian kayak gue. Kurang apa coba gue? Udah sexy, pinter, kaya, badan gue juga oke kok kayak Kylie Jenner. Ish, sebeelll..."

Nana menendang-nendang angin sembari mengacak rambutnya. Keadaannya terlihat mengenaskan saat ini. Orang-orang yang melewatinya pun melemparkan tatapan kasihan.

"Bajingan lo Devin. Awas aja ya, bapak lo gue embat. Gak dapet anaknya, bapaknya juga oke gue. Om Arkan ganteng banget gitu, masih tiga puluh tujuh. Lagi mateng-matengnya."

"Ekhem!"

Nana menegakkan badannya seketika saat mendengar suara deheman seseorang. Ia terdiam kaku sambil melirik kanan kiri tanpa menggerakkan kepala. Ia merutuk dalam hati. Jangan-jangan, itu om Arkan beneran?

"Denger-denger lagi ada yang ngomongin saya?"

Bau duit, salah, bau parfum mahal khas pria tercium di penciuman Nana. Ia sedikit demi sedikit mengangkat kepalanya untuk melihat siapa pemilik harum wangi cantik berseri itu.

"Hehe, om Arkan. Sehat om? Duduk om,"

Arkan melihat Nana sekilas lalu duduk di sebelah gadis itu. Nana menoleh ke samping lalu memejamkan mata sekilas setelah itu ia melihat Arkan sembari tersenyum manis.

"Lagi ngapain om ke taman kota?"

"Nyari orang yang ngomongin saya di belakang."

Nana tertawa garing. "Bisa aja om." ucapnya. "Saya beneran nanya ini, om tumben banget saya liat ke taman kota. Gini-gini, saya pengunjung tetap taman ini loh."

"Nggak nanya." balas Arkan singkat. "Lagi pengen aja ke sini."

Nana tersenyum paksa. Kemana hilangnya jiwa bar-barnya? Kenapa tersisa Nana yang penakut seperti ini? Apa karena aura Arkan yang menyeramkan atau karena apa?

"Oh gitu, ya udah om, lanjut. Saya nyari kursi yang lain aja." Nana berdiri dan bersiap ingin pergi. Namun, cekalan tangan menghentikan dirinya. Arkan menarik lembut tangan Nana untuk duduk kembali. "Di sini aja."

Nana mengedip-ngedipkan matanya. Beneran ini bapaknya Devin? Nggak salah orang 'kan?

"Om lagi banyak pikiran ya?" Nana memberanikan diri untuk bertanya. Ia tidak kuat tenggelam dalam keheningan. "Mukanya kayak lagi nahan beban berat banget gitu."

"Hm, biasa."

"Biasa apa om?"

"Orang kantoran, gitu aja make nanya. Emang saya kerja apa lagi selain di kantor?"

Nana mengerucutkan bibirnya, "Santai om, woles. Jawabnya ngegas banget. Saya pergi aja deh,"

"Jangan."

Nana menaikan sebelah alisnya. Belum apa-apa bapaknya Devin sudah mau nempel-nempel aja dengan dirinya. Bagaimana kalau ia mengeluarkan jurusnya? Bisa nggak lepas Arkan dari keteknya.

. . .

Vote ya thank you....

BAPAK MU SEMANGAT KU [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang