Bab 14

33.6K 5K 97
                                    

Fatiya tak pernah merasakan yang namanya cinta semenjak datang ke dunia. Cinta dari Umi dan Abi tentu lain ceritanya, tapi dari orang yang bukan mahramnya? Belum pernah.

Saat ini perempuan berhijab pashmina manis itu berdiri di depan rumah Ghibran karena disuruh oleh laki-laki itu. Ghibran mengiriminya pesan dan alamat rumah.

"Ini gimana?" Fatiya melirik sekelilingnya cemas.

Kemarin Ghibran dan Farhan yang galau telah menemaninya latihan memanah, awalnya Ghibran curiga akan ditanyai banyak hal, tapi kecurigaannya tak terbukti. Fatiya juga menjanjikan satu hal pada Ghibran kalau perempuan itu akan menurutinya satu permintaan sebagai permintaan maaf.

Fatiya hanya bergidik ngeri saat melihat senyum Ghibran yang terlihat mengerikan.

Lain halnya dengan Farhan, laki-laki itu malah menanyai Fatiya banyak hal. Seperti kenapa harus latihan memanah, bukannya Fatiya yang menjawab tapi Ghibran yang menjawab dengan suka rela.

Lama Fatiya merenung, sampai tak sadar ada seseorang berdiri di depannya dengan tenang.

"Masuk, ngapain lo di luar!"

Ghibran menarik Fatiya masuk ke dalam, di rumah sedang tidak ada siapa-siapa. Walaupun begitu Fatiya tetap mengucapkan salam dan merasa gelisah sendiri.

"Tunggu bentar, gue ganti baju dulu."

Banyak hal yang baru ditemui Fatiya di rumah Ghibran. Ia mengangkat sebuah foto dengan heran, seorang laki-laki yang memakai baju koko dengan sorban di kepalanya.

"Dzaka? Kok ada fotonya, sih?"

Fatiya makin curiga, perempuan itu terus menyusuri dinding yang menampakan figura orang rumah. Fatiya mendekat saat melihat beberapa nama tersusun di atas meja.

Dzaka Anis Al-Karim

"Ghibran ... namanya nggak ada," gumam Fatiya.

Ghibran baru saja turun, ia tersenyum miring saat melihat Fatiya menyusuri rumahnya. Bukankah dirinya yang berada di rumah dan di sekolah bagaikan langit dan bumi?

Tanpa disadari oleh Fatiya, Ghibran mendekat lalu menariknya mendekat. Tanpa segan ia langsung mendorong Fatiya ke dinding dan menumpu kedua lengannya di sisi Fatiya.

Fatiya terkejut dengan perlakuan seperti itu, manik cokelatnya menatap Ghibran waspada. Ia mendengus kesal, tinggi Fatiya hanya sebahu Ghibran, padahal sebagai perempuan ia termasuk tinggi.

"Tinggi banget, sih! Aku yang 163 cm gini masih kalah jauh sama kamu!" protes Fatiya.

"Oh, ya? Lo tau nggak gue bisa ngapain sama posisi lo?" Ghibran berbisik halus.

Fatiya berkedip sekali, rautnya berubah panik saat Ghibran mendekat. Fatiya memejam mata takut, tubuhnya mendadak kaku. Rasanya Fatiya ingin sekali mendorong Ghibran tapi tubuhnya berkhianat.

Clek!

"Oh? Bunda ganggu, ya? Permisi~" ucap Bunda begitu membuka pintu.

Mereka menatap Bunda lama, Bunda tentu saja cuek dengan interaksi keduanya. Bunda mengerling nakal dan bersorak senang.

"Dza, di kamar aja! Jangan lupa cucu buat Bunda!"

Bunda berlalu begitu saja setelah mengatakan hal tersebut, Fatiya dan Ghibran saling menatap. Tatapan keduanya mengandung arti yang berbeda, Fatiya yang takut dicap aneh-aneh dan Ghibran yang terlalu santai.

"Ayo!"

Ghibran menarik Fatiya ke lantai dua.

"Hah?! Ke mana?" tanya Fatiya takut-takut.

(Bukan) GhibranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang