𝟸𝟻. 𝙶𝚘𝚘𝚍𝚋𝚢𝚎

512 105 4
                                    

≪•◦ ❈ ◦•≫

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

≪•◦ ❈ ◦•≫

Mereka menang. Namun, mereka tidak senang. Teman yang mereka anggap saudara banyak yang tewas dalam pertempuran itu. Tidak akan ada pesta perayaan untuk kemenangan. Hanya ada perkumpulan penuh duka untuk mengenang mereka yang gugur.

Florence berada dalam kondisi yang buruk. Ia bisa saja mati. Jika obat yang dibutuhkan tidak segera ditemukan. Zehra berkata, satu-satunya obat yang ampuh hanyalah serbuk bunga must, bunga berwarna hitam yang tumbuh di pegunungan. Dan, beberapa kurcaci ditemani Argus telah berangkat untuk mencarinya.

Para elf akan pulang sebentar lagi. Mereka memilih memakamkan keluarga mereka di desa sendiri. Arthur ingin ikut pergi. Namun, ia juga tidak bisa meninggalkan Florence, meski gadis itu dijaga banyak orang. Pikirannya masih saja belum tenang.

"Aku turut berduka, Tuan Edward," kata Arthur, suaranya lemah dan rasanya begitu berat untuk bicara. Arthur sungguh merasa bersalah. "Aku minta maaf."

Sudah berulang kali Arthur meminta maaf setelah pertempuran usai. Ia bahkan menangis saat mereka berkumpul di aula tadi. Sebab, Arthur merasa bertanggung jawab atas semua yang terjadi. Meski mereka tidak menyalahkannya, ia tetap merasa bersalah.

"Jangan bicara begitu. Bukan salahmu. Kami ikut berperang dengan penuh kesadaran. Kami sadar jika nyawa kami terancam. Jadi, jangan menyalahkan dirimu sendiri." Tuan Edward menepuk pelan pundak Arthur, layak seorang paman yang baik dan bijaksana.

Arthur yang semula menunduk, mulai berani menatap wajah lelah Tuan Edward. Ia hanya memiliki seorang anak. Namun kini, Dion telah pergi. Dapat Arthur rasakan kesepian yang mulai mengikat laki-laki itu.

Selena datang tidak lama kemudian. Wajahnya juga tampak lelah. Matanya sembab dan berhiaskan hitam di bawahnya. Ia tampak redup. Tidak secerah dan seceria biasanya. Saat melihat Arthur pun, ia tidak tersenyum. Sungguh berbeda dari biasanya.

"Ayo, Paman. Kita pulang," ajak Selena. Suaranya lemah dan sedikit serak. Gadis itu lalu memandang Arthur. "Kami pulang," katanya. Hanya itu. Tanpa senyuman seperti biasa.

Setelah para elf pulang, kastel terasa semakin sepi. Para centaurus pun telah kembali ke hutan bersiap memakamkan kaum mereka—yang gugur—di hutan. Para kurcaci yang biasanya selalu memberikan hiburan pun tidak melakukannya hari ini.

Arthur berjalan lesu menuju kamar Florence. Di sana, Axel duduk di tepi ranjang. Terus memandangi Florence. Berharap gadis itu membuka mata secepatnya.

"Pikirkan juga dirimu sendiri," kata Arthur.

Axel masih diam. Ia masih betah berlama-lama di sana. Bahkan, untuk makan atau mengganti baju pun enggan. Saat beberapa kurcaci datang untuk membersihkan lukanya pun, ia tidak mau.

Zehra yang duduk di dekat jendela menggelengkan kepalanya pelan saat bertemu pandang dengan Arthur. Memberi tahu Arthur untuk tidak bicara apa-apa kepada Axel.

The Lost Castle [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang