Bagian Ketujuhbelas : Ayah

292 58 8
                                    

Aruna mengerjapkan matanya pelan, mencoba membuat kedua matanya terbuka dengan benar. Tubuhnya terasa lemas, kepalanya terasa pening, untuk sejenak Aruna memilih menatap ke arah langit-langit, barangkali dengan demikian dia bisa mengusir semua bayangan yang terlihat buruk di matanya.

Aruna merasa begitu takut saat ini, bingung dengan semua rasa sakit yang bertubi-tubi menghantam dadanya. Sesak sekali, padahal Aruna berpikir dia bisa menyusun masa depannya kembali, beradaptasi dengan dunia dan memulai semuanya lagi. Detik setelahnya Aruna meringis, memilih mencoba bangkit dan berpikir akan menemui satu-satunya orang yang sangat dia percayai, terlepas jika orang itu pernah mengecewakannya.

Aruna mencoba untuk bangkit dengan susah payah, melepas masker oksigen dan peralatan medis yang melekat di tubuhnya. Aruna baru menyadari bahwa dia sendirian kali ini, membuat Aruna tidak perlu menghindari mereka.

Aruna meringis saat lututnya menghantam lantai begitu dia mencoba berdiri, tubuhnya lemas dan tenaganya belum pulih, tapi Aruna benar-benar ingin bertemu ayahnya, berlari ke dekapan ayahnya, atau berharap bahwa ayahnya akan datang dan membawanya ke dalam pelukannya, mengusir semua rasa sakitnya dan mengecupnya penuh kasih sayang. 

“Aruna! Astaga apa yang kamu lakukan!” Sarah yang baru keluar dari kamar mandi terkejut melihat Aruna sudah dalam posisi bersimpuh di lantai dan bergegas menghampiri Aruna yang terlihat payah. 

Aruna yang melihat keberadaan Sarah sontak memundurkan tubuhnya, menyeret tubuhnya untuk menjauh. Tubuh Aruna gemetar, di matanya Sarah terlihat seperti monster jahat menakutkan. 

“Monster! Pergi! Jangan bunuh! Aku mau ketemu ayah!” Aruna berteriak panik, menghalau Sarah agar tidak mendekat, sedangkan Sarah tertegun dengan mata berkaca-kaca. 

“Pergi! Ayah tolong!” Aruna berteriak histeris, berusaha menyembunyikan diri di bawah ranjang. Teriakan yang membuat Arian, Faris dan Maya yang awalnya berniat berkunjung langsung mempercepat langkah mereka. 

“Sarah, ada apa?” Faris mendekat, mengembuskan napas panjang saat mendapati Aruna berada di kolong ranjang, meringkuk ketakutan dengan tubuh gemetar, tidak lupa dengan napasnya yang masih tersengal. 

“Pergi! Jangan ganggu aku! Aku cuma mau ayah!” Aruna memekik, semakin takut saat Faris dan Maya mencoba meraihnya, sedangkan Arian yang melihat itu mengembuskan napas panjang. Memilih untuk keluar dari kamar begitu mendapati Lisa berdiri di depan pintu, Arian memejamkan matanya untuk sejenak. 

“Lisa, saya butuh bantuan tiga atau empat orang perawat laki-laki dan siapkan kain untuk mengikat pasien di ranjang.” Arian mengucapkan maaf berulang kali karena mengambil keputusan ini, tapi melihat kondisi fisik Aruna yang tidak bagus, ditambah kondisi psikis yang tidak stabil membuat Arian tidak memikirkan cara apa pun selain ini. Arian kembali masuk lantas mencoba untuk meraih Aruna yang semakin meringkuk, Arian menggeser beberapa meja peralatan, meminta Sarah yang masih syok untuk duduk. 

“Aruna, kamu mau ketemu ayah kamu, ‘kan? Saya akan bantu, tapi pertama kamu harus keluar dulu dari sana.” Arian ingin mencoba dengan lembut di awal, memastikan bahwa kondisi Aruna tidak seburuk itu. 

“Enggak! Kalian pembohong! Aku mau ayah!” Aruna terbatuk setelahnya, napasnya tersengal hebat dan tubuhnya gemetar ketakutan. Arian mengusap wajahnya kasar, beruntung ranjang rumah sakit sangat mudah untuk digeser, sehingga Arian memilih menggeser ranjang dan langsung mendekati Aruna tanpa peduli jika anak itu terus menjerit histeris. Arian membaringkan Aruna di ranjang, mencoba bertahan saat Aruna memukulinya, matanya berkaca-kaca saat melihat mata Aruna yang dipenuhi air mata. Lisa yang datang bersama dengan empat rekan kerjanya menutup mulutnya tidak percaya, melihat Aruna terus memberontak di dekapan Arian membuatnya ngeri. 

Socialphobia [COMPLETE] -TERBIT Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora