Suatu kali ekspektasi itu lebih menyenangkan dari realita, tapi apa yang dibayangkan Fatiya ketika memikirkan ucapan Umi tadi malam adalah sesuatu yang mustahil.
"Masa, sih?" gumannya ragu.
Tak ambil pusing, perempuan itu kembali melangkah ke lapangan. Tiap langkahnya mengundang kerutan dalam di kening Fatiya, ia menoleh ke belakang, tapi hanya menemui Tristan, Anang, dan Jinno di sana. Ketiganya pura-pura melihat langit.
Fatiya menatap mereka curiga.
"Tuh cewek kok peka banget!" bisik Tristan pada Jinno.
"Meneketehe, lo pikir gue tau? Ghibran cuma nyuruh jaga dia, gue rasa kayak--"
"Kalian bertiga ngapain?" tanya Fatiya dingin.
"Buset, mirip komandan!" seru Jinno panik.
Fatiya memutar matanya, ia merasa sangat diawasi selama dua hari ini. Ntah itu di lapangan, di kelas pun juga banyak pasang mata yang menatapnya terang-terangan. Mereka punya dendam apa sampai seperti itu?
Jinno kembali berbisik pada Tristan, raut Fatiya membuatnya enggan menatap perempuan itu, benar-benar tak bersahabat. Bisa jadi ia yang habis di tangan Fatiya daripada komandannya sendiri.
"Kalian mau pilih wajah atau perut?"
"Apanya?" tanya Tristan.
Plak!
Tangan Fatiya yang dibungkus sapu tangan itu menampar pipi Tristan, ia tahu siapa saja yang menatapnya terang-terangan. Fatiya paling tidak suka diintai layaknya orang jahat, ia lebih suka berdiam diri dan diacuhkan oleh mereka semua.
Tanpa mereka tahu, tubuh Fatiya gemetar pelan semenjak berbicara dengan mereka.
"Kok ... lo nampar gue?" tanya Tristan sedikit syok.
Perempuan yang dijaga ternyata berbahaya!
"Menjauh dariku! Jangan awasi aku lagi, siapapun yang nyuruh kalian nggak usah didengar!" Fatiya menatap mereka tajam.
Kami bisa dibantai kalo nggak nurut! batin mereka menjerit.
Tanpa banyak kata, mereka bertiga menjauh sejauh mungkin, kalau bisa menghilang dari pandangan Fatiya. Agak kapok rasanya menjaga seseorang, padahal ini tugas teringan yang diberikan Ghibran.
Jinno memperhatikan perempuan itu dari jauh, bersamaan dengan Tristan dan Anang yang terus bertanya bagaimana kondisi Fatiya saat ini.
Mata Jinno terbelalak saat Fatiya melarikan diri dari sana, jilbab yang terkibar itu membuatnya sedikit terpesona. Jinno menggeleng, menampar dirinya sendiri.
"Lo kenapa, Jin syaithon?" tanya Tristan heran.
"Gue bukan syaithon! Gue cuma ... cuma ...." Jinno bingung ingin bilang apa.
"Cuma apa?" Kali ini Anang yang nanya.
"Cuma ngerasa suka aja liat Fatiya."
"Gila lo!"
"Gue aduin juga nih sama komandan!"
"Jangan! Lo berdua mau gue mati?!"
"Mau!" sorak Tristan dan Anang bahagia, mereka bertos ria.
"Emangnya komandan suka dia?"
"Meneketehe!"
****
Fatiya memangku tangan gemetar, napasnya tiba-tiba sesak. Perempuan itu memejamkan matanya erat, deru napas yang cepat membuat dadanya tiba-tiba sakit.

KAMU SEDANG MEMBACA
(Bukan) Ghibran
General Fiction{Sudah Terbit} Fatiya tak mengenal siapa yang menjaganya secara posesif, yang ia tahu adalah laki-laki itu tulus menjaganya. Ke mana pun ia pergi akan selalu diikuti, bukan risih tapi terasa nyaman. Tatapan teduh milik Ghibran terasa menenangkan hat...