Terungkapnya Tabir Kebenaran

Comincia dall'inizio
                                    

“Fix, aku bener-bener nggak nyangka kamu bisa kayak gini,” katanya sambil meringis melihatku, kepalanya menggeleng-geleng.

“Kamu kayak buaya yang ditinggal pawangnya,” lanjutnya.

Aku meliriknya malas, benar-benar teman yang datang cuma mau menambahkan beban pikiranku saja. Ck ... enggak ada akhlak.

“Udah nih, jangan nangis dulu. Aku bawakan nasi goreng spesial untukmu yang sedang PATAH HATI.”

Sial, dia malah menekankan di akhir ucapannya. Benar teman yang tidak bisa kondusif. Tidak tahu waktu dan tempat. Untung teman, kalau bukan sudah aku usir mengingat sekarang bukan waktunya yang tepat untuk bertamu di rumah orang. Berhubung aku sedang lapar, maka aku maafkan.

“Ikhlas nggak nih?” Sengaja aku mengetesnya, yang sebenarnya aku sedang bercanda.

Baru sesuap, ucapannya lagi membuatku hampir tersedak.

“Tinggal kamu balas dengan tenagamu saja.”

Aku menatapnya tak percaya, seorang Edo benar-benar akan perhitungan kepadaku. Teman macam apa dia, teman lagi kesusahan mau dia buat tambah susah.

“Apa maumu?” kataku yang sudah kehilangan selera makan.

“Kita akan begadang malam ini. Eh! Iya, si Nada ke mana?”

“Udah tidur mungkin,” jawabku acuh, karena tidak mungkin juga aku mengetahui tanpa mengecek kamarnya.

“Kasihan juga sih, dia lagi hamil, ya sudah biarkan saja. Sudah habiskan makananmu dulu, nanti ada berita penting yang ingin aku sampaikan. Aku takut kamu pingsan, karena kelaparan.”

Aku menurut, karena aku pun ingin tahu bagaimana perkembangannya dalam menggali sebuah informasi. Terhitung sudah sebulan lamanya, namun belum juga menemukan titik terang.

Awalnya aku cukup terkejut mendengar penjelasannya, namun aku semakin terkejut saat aku sampai di tempat tujuan bersama Edo, aku melihat Nada yang sudah berdiri di depan pagar. Dia menangis dan tak lama keluar seseorang yang mengenakan jaket hoodie dengan penutup kepala.

Perlahan aku dan Edo mendekat dengan cara mengendap-endap dan langsung bersembunyi di balik batang pohon yang tak jauh dari mereka berdiri. Suasana malam yang hening, mendukung sekali bagi kami yang. Sedang menguping pembicaraan mereka.

“Mas, aku sudah melakukan semuanya, sesuai perintah kamu. Jadi aku mohon, segera bebaskan Gerald dari kantor polisi. Kamu sudah berjanji akan mengeluarkannya dengan jaminan, sesuai dengan kesepakatan kita dari awal.”

“Apa kamu yakin, mereka akan berpisah?” suara dari pria itu terdengar tidak asing di telingaku, namun aku sulit mengenali siapa dia tanpa melihat wajahnya.

“Aku yakin, Mas. Mas harus percaya sama aku, semua sudah aku lakukan sesuai rencana dan Mbak Bella sudah pergi dari rumah.”

Emosiku semakin tidak tertahan lagi mendengar percakapan mereka, aku ingin menghampiri mereka dan meminta pertanggung jawabannya. Namun, Edo menahan tanganku, membuatku urung melangkahkan kaki.

“Jangan gegabah, kita harus tahu sumber masalahnya dulu,” bisiknya.

“Baiklah pulanglah sana! Besok kita akan ke Pasuruan membebaskan Gerald,” ucap pria berjaket hoodie tersebut sebelum masuk kembali dan meninggalkan Nada.

**

Kini aku berdiri dengan angkuhnya di hadapan seorang wanita yang sedang terduduk lemah. Menghakiminya dengan semua pertanyaan-pertanyaan, selayaknya seorang hakim yang menginterogasi terdakwanya. Sungguh aku kecewa, aku telah menolongnya justru dia penyebab semua masalah ini terjadi.

“Aku kecewa sama kamu, Nad. Jadi semua rentetan tindakan kebodohan yang kamu lakukan itu, semata-mata trik agar aku kasihan padamu?” Aku memijat pelipis yang tiba-tiba berdenyut. Ini bukan aku yang sekarang, aku yang sekarang tak pernah berkata kasar kepada wanita. Aku tidak bisa menjadi seorang Roland yang tak menghargai wanita. Tetapi, aku sudah terlanjur kecewa.

Prang!

Suara pecahan gelas kaca yang sudah berserakan di lantai dan akulah penyebabnya.

“Apa yang sudah kamu katakan kepada istriku?” Nada terdiam dengan isak tangis yang tertahan. “Jawab, Nada!” bentakku yang sudah tidak sabar.

“Gus, kamu bisa buat dia melahirkan sebelum waktunya. Bersabarlah,” ucap Edo memperingatkanku, mengingatkanku tentang dispensasi yang seharusnya di terima Nada.

“Ma-maaf, aku ... aku bilang sama sa-ma Mbak Bella. Kalau aku ... aku ... pacar Mas sebelum mas menikah sama dia. Dan bayi yang aku kandung memang anak Mas.”

Nada masih menangis sambil mengucapkan kata maaf terus-menerus. Namun, aku sudah tak ada niatan lagi untuk peduli dengannya. Rupanya penjelasanku dari kemarin hanyalah sia-sia. Justru meyakinkan tentangku yang masih seorang pembohong.

Astagfirullah! Bella, sesulit itu kamu percaya denganku dan memilih percaya dengan orang lain.

Bersambung ...


Maaf ya, yang tadi sepertinya membingungkan. Dan ini kelanjutannya 😂

Salam Rindu dari Gus RasyidDove le storie prendono vita. Scoprilo ora