Bab 2

53.1K 6.6K 578
                                    

Baru dua hari di SMANSA Fatiya sudah mendapati berbagai pengalaman di sana. Selain Ghibran yang memeluknya tiba-tiba, ada seorang laki-laki yang menawarkannya untuk menjadi sekretaris kelas. Siapa lagi kalau bukan Anang Setiawan, ketua kelas XII MIPA 3.

"Nggak ada yang lain, ya? Jadi sekretaris itu capeknya double," ucap Fatiya menolak.

"Nggak ada, jawabannya sama kayak lo. Pliss, jadi sekretaris, ya," mohon Anang sudah lelah.

Fatiya mengangguk tak rela, merampas spidol di tangan Anang dan menulis namanya sebagai sekretaris. Tak apa, ia sudah terbiasa jadi sekretaris kelas semenjak SMP. Walaupun hati kecilnya ingin sekali membuang jabatan itu karena menyusahkan, belum lagi kalau sedang nulis di papan tulis, pasti pada mendadak ngefans sama Fatiya sambil marah-marah.

Selesai pemilihan struktur kelas, Resya menarik Fatiya keluar dari kelas. Para guru sedang rapat dadakan, jadi semua kelas mendapat jatah jam kosong di waktu bersamaan, momen itu tak bisa di sia-siakan Resya. Ia ingin membaca di perpustakaan sambil tiduran.

"Adem banget," ucap Resya tiduran di sofa.

"Aku ke sana ngambil novel dulu."

"Iya, ntar bangunin gue."

Fatiya mengangguk, perempuan itu memilah novel yang ingin ia baca. Lantas tertawa kecil melihat Resya yang sudah tertidur pulas, mungkin kalau di hutan Resya bakal tetap bisa tidur sepuasnya.

Saking asiknya membaca blurd novel, Fatiya tak menyadari ada seorang laki-laki yang memperhatikannya dari rak seberang. Sikapnya sangat cuek dengan sekitar, memilih tak peduli daripada ikut campur sama yang lain.

Ghibran menghela napas, menopang dagu dengan tangan kanannya. Ia tak punya pengalaman mendekati seorang perempuan, bagaimana caranya ia bisa memikat hati istrinya sendiri? Padahal di pesantren begitu mudah para santriawati terpikat, kenapa istrinya tidak.

"Lagi merana, ya, komandan?" ledek Farhan kurang ajar.

"Diem, Han! Kalo nggak ada kerjaan pergi sana, ganggu!"

Farhan tersenyum jahil.

"Ohh, seorang Dzaka yang katanya sangat tampan dengan akhlak mulia dan punya aura memikat yang kuat, suatu hari auranya tidak mempan pada sang istri." Farhan memulai perannya, mengompori sang sahabat yang mulai kesal.

"Makin ngelunjak," ucap Ghibran menahan diri. Ia kesal, tapi tak bisa membalas.

"Berjudul, sang istri nggak demen ama suami."

"Sialan lo!"

Fatiya sedikit terusik, tatapan jatuh pada Ghibran yang sedang memukul punggung Farhan. Tak peduli, perempuan itu pindah ke rak yang lebih jauh, mencari suasana yang tenang. Daripada ia dongkol karena suara kedua laki-laki itu, mending pergi saja.

"Diem, astaga! Nggak liat tuh palang perpus!" bentak Fatiya menunjuk palang 'Jangan berisik, ini bukan hutan rimba!.'

"Buk komandan marah, gue pergi dulu!" pamit Farhan secepat kilat

"Maaf, ini kali keduanya kita ketemu, 'kan?" Ghibran tersenyum manis.

Fatiya mengangguk sinis tak menjawab.

"Gue Ghibran Bellatrix, anak XII MIPA 1. Lo?" Ghibran menyodorkan tangannya, tapi dipelototi Fatiya.

"Saya tidak suka sama kamu," ungkap Fatiya dingin.

Ghibran menutup mulutnya, ia menatap tajam Farhan yang menertawainya lewat jendela. Awas saja nanti, ia akan mencegat Farhan saat pulang sekolah. Ghibran menarik tangannya canggung.

(Bukan) GhibranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang