18. A Little Dance by The Fireplace

1.2K 283 35
                                    

Ketika memasuki ruangan perapian, pandanganku kembali tertuju pada foto elang besar berkepala putih dalam pigura. Burung itu tampak gagah dipotret dari sudut samping. Matanya berkilat tajam mendongak menatap langit biru.

"Itu Ares." Mark ikut melirik foto itu sekilas sembari menambahkan dua balok kayu ke dalam perapian untuk memperbesar nyala api. Sementara itu, aku hanya berdiri bersidekap di depan foto, memandangi Ares dengan lebih lekat. "Aku menemukannya di tengah hutan saat memotret. Saat itu Ares masih bayi, kakinya terluka karena jatuh dari sarang. Aku memutuskan untuk merawatnya di rumah dan membelikannya kandang kecil. Ares menjadi temanku satu-satunya di sini. Aku menyayanginya. Saat ia sudah tumbuh dewasa dan cukup kuat, aku mulai membuka pintu kandangnya supaya ia bisa mencari makan sendiri dan pulang saat senja. Sayangnya, sejak saat itu ia pergi dan tidak pernah kembali."

"Akhir cerita yang pahit untuk sebuah tindakan heroik," komentarku masam. Tatapan penasaranku pada Ares berubah menjadi sorot sedih.

Mark membersihkan telapak tangannya yang tadi menyentuh kayu kering dengan sambil lalu. "Alam liar adalah tempat di mana seharusnya Ares berada. Aku tidak bisa memaksanya untuk tetap tinggal hanya karena aku kesepian." Ia mengucapkan kalimat terakhir itu dengan nada bercanda.

Tapi itu justru terdengar sendu di telingaku. Kesepian itu membunuh, aku tahu benar tentang itu. Aku tahu rasanya sendirian.

"Mencintai sesuatu yang berjiwa bebas selalu memiliki risiko, ya." Aku bergumam tidak jelas sembari berdiri menikmati nyala perapian yang kini terasa semakin hangat karena api sudah membesar. "Kita harus siap untuk melepaskan dan ditinggalkan karena mereka mengikuti panggilan dari dalam diri mereka."

Aku tidak tahu mengapa kalimat itu seperti membuat Mark tiba-tiba tercenung. Kami berdiri saling berhadapan di depan perapian yang menciptakan kilatan-kilatan cahaya lembut di wajah. Mark menatapku dengan cara yang menyimpan artian sulit ditebak. Ia lalu tersenyum samar, nyaris tidak kentara.

Aku merenung. Apakah aku salah bicara?

Mark menghampiri lemari kecil yang menjadi satu-satunya perabotan di sini selain sofa panjang merah tua di tengah ruangan. Ia mengeluarkan sesuatu yang terlihat seperti sebuah buku berukuran besar lalu mengajakku duduk.

"Sudah lama aku ingin menunjukkan ini, tapi tidak pernah menemukan saat yang tepat." Mark membuka buku besar bersampul gelap yang ternyata sebuah album foto. Ia menunjukkan sebuah potret berlatar pemandangan rawa-rawa dengan langit cerah di atasnya. Mark menyodorkan foto itu lebih dekat denganku dan menungguku bereaksi.

Mataku terpana melihat potret dua orang pria di atas perahu kecil yang ditepikan pada bibir danau rawa. Aku mengenali dua sosok pria itu; Mark dan ayahku. Mereka berpose unik dengan bersama-sama memegang ikan berukuran besar sambil tersenyum lebar di bawah topi-topi mereka.

"Foto ini diambil sekitar tiga tahun yang lalu," jelas Mark. "Kami memang sering memancing bersama."

Pandanganku masih terpancang pada foto. Ada perasaan aneh yang tiba-tiba hadir di sudut rongga dadaku melihat kentalnya keakraban Mark dan ayahku dalam potret itu. Tanpa sadar, aku menarik seutas senyuman tipis.

"Itu satu-satunya foto ayahmu yang kumiliki, tapi kau boleh menyimpannya jika kau mau,"

"Benarkah?" Aku menatap Mark terkejut.

Mark tersenyum lembut, mengangguk.

"Terima kasih," ucapku lirih. "Tapi aku tidak ingin menyimpannya sendirian. Bagaimana jika foto ini dipasang di atas perapian saja? bersama Ares."

"Ide yang bagus," sahut Mark. "Besok akan kucarikan bingkai yang sesuai dengan ukurannya."

Aku menunduk memandangi album foto lagi. "Apakah aku boleh melihat foto-foto yang lain?" tanyaku hati-hati. Aku meminta izin terlebih dahulu karena tidak ingin lancang. Sebagai seorang fotografer, setiap foto pasti memiliki nilai yang sangat personal bagi Mark.

In A Rainy Autumn [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang